REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
Alquran mendorong manusia untuk menggunakan akalnya dengan optimal dan benar, "Tidaklah kamu berakal?", "Agar kamu berpikir", "Jika kamu memahaminya", "Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran?" Abdullah bin Salam, misalnya. Sahabat Nabi ini adalah seorang ulama Yahudi di Madinah yang paham betul isi Taurat. Allah menganugerahinya hidayah, akal, ilmu, dan fitrah lurus untuk membenarkan kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Akal juga merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu, sekaligus syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna. Sehingga, ilmu dan amal menjadi lengkap (Majmû'ul Fatâwâ, 3/338, Ibnu Taimiyah).
Di masa Jahiliyah, kaum musyrikin telah jauh melenceng dari fitrah mendasar manusia, yakni tauhid. Kesyirikan mereka berbuntut pada rusaknya akal, sehingga mereka membuat patung-patung yang tak berdaya untuk disembah dan dimintai. Mereka juga mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup.
Oleh sebab itu, diutusnya para nabi dan rasul juga untuk meluruskan akal dan fitrah manusia, termasuk fitrah untuk beriman dan hanya menyembah Allah. Pada dasarnya, hanya dengan fitrah bawaan, seseorang sudah dapat mencapai keimanan terhadap Allah. Jika akalnya tidak mampu membawa pada keimanan maka ditambah hidayah akal dan apabila belum mampu juga maka ditambah hidayah agama (Konsep Tauhid Ibn Taimiyah dan Pengaruhnya di Indonesia, Dr H Amar Fathullah Zarkasyi MA).
Ibnu Taimiyah mengatakan, Allah Azza wa Jalla menciptakan manusia dengan fitrah. Keyakinan, nilainilai, dan prinsip kehidupan dalam Islam bermuara pada fitrah ini. Islam adalah agama fitrah dan seluruh tujuan syariat Islam adalah menyem pur nakan keselarasan manusia dengan fitrahnya. Nalar adalah bagian dari fitrah (Ibn Taymiyyah Expounds on Islam, Dr Muhammad Abdul-Haq Anshari).
Maka, fungsi akal adalah menerima, membe nar kan, menjelaskan, dan mengimplementasikan wahyu Allah di dalam Alquran dan hadis Nabi yang sahih. Mustahil wahyu Allah bertentangan dengan akal. Apabila sepintas akal dan wahyu tampak bertentangan, sesungguhnya akal itu lemah dan terbatas kemampuannya. "Dan manusia dijadikan bersifat lemah." (QS an-Nisaa: 28).
Akal sehat adalah akal yang membenarkan dan tunduk kepada Alquran dan sunah. Sedangkan memilah-milah syariat Allah agar sesuai dengan hawa nafsunya bukanlah bentuk syukur terhadap nikmat akal.
Akal lebih dari kemampuan berpikir teoritis, sehingga ia tidak mutlak ditimba dari pendidikan formal. Para nabi, rasul, para sahabat Nabi, dan ulama terdahulu tidaklah mengenyam bangku sekolah. Akal yang sehat dan jernih adalah karunia Allah yang didapat dengan mendekatkan diri kepada-Nya maka semakin bertakwa seseorang semakin cemerlang dan terasah akalnya. Dengan akal yang sehat seperti itu, maka inte lektualitas adalah keniscayaan. Wallahu a'lam.