REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hasil perjuangan KH Noer Ali dan masyarakat setempat adalah jalan yang menghubungkan kampung tersebut dengan berbagai wilayah sekitar. Masyarakat di sana dapat dengan mudah menempuh perjalanan menuju Teluk Pucung, Pondok Ungu, dan berbagai daerah. Masyarakat di era abad-20 dengan ikhlas memberikan lahannya demi pembangunan infrastruktur tersebut.
Apabila diperintah engkong kiai, semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya, tulis AM Fatwa dalam bukunya Pahlawan Nasional KH Noer Alie: Ulama Pejuang dari Tanah Betawi.
Perjuangan sang kiai mendakwahkan Islam dan membangun masyarakat ternyata menjadi sorotan penjajah Jepang (1942-1945). Sang alim ternyata ma suk daftar orang berpengaruh yang harus diwaspadai. Meski demikian, teman almarhum saat belajar di al-Haram Muhammad Abdul Muniam Inada, yang ketika itu menjadi pagawai pemerintah Jepang, membantu sang kiai.
KH Noer Ali melobi Inada agar hasil pertanian warga setempat tidak semuanya disetorkan kepada Jepang. Hal ini membuat masyarakat semakin menghor matinya. Tak hanya itu, dia juga memberitahukan Inada sedang merintis pesantren. Seharusnya kegiatan itu dibatasi, tapi karena hubungan perteman an yang dekat, KH Noer Ali diperbolehkan dengan syarat harus tunduk kepada aturan main Jepang.
Secara diam-diam, sang kiai menempatkan santri-santrinya menjadi pembantu tentara dan polisi Jepang. Mereka menjaga keamanan daerah setempat.
Diam-diam sang kiai juga mengonso lida sikan massa untuk mendukung upaya bebas dari penjajahan.
Upaya besar itu dibuktikannya dengan memobilisasi massa dari ber bagai kalangan untuk menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta. Mereka semuanya mendapatkan motivasi untuk mengusir penjajah yang telah lama merampas hak hidup bangsa ini.