REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta, 25/10 (Antara) - Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) mengusulkan revitalisasi tengara kesultanan Islam yang belakangan makin luntur ditelan zaman. "Kami akan memberi rekomendasi kepada Dewan Pimpinan MUI agar juga disampaikan kepada Presiden terkait dengan lanskap Islam yang kian tergerus ini," kata Ketua Wantim MUI Din Syamsuddin usai memimpin Rapat Pleno Ke-21 Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia di Jakarta, Rabu (25/10).
Dalam kegiatan bertema "Lansekap Islam di Daerah: Masalah dan Solusi" itu, dia mengatakan, bahwa Wantim MUI menemukan banyaknya tengara bernuansa keagamaan. Utamanya, kata dia, Islam yang kian tergerus oleh modernisasi pembangunan yang kapitalistik dan materialistik.
Dia menyebutkan banyak peninggalan kesultanan, seperti keraton bernuansa islami yang satu kawasan dengan alun-alun dan masjid. Akan tetapi, seiring dengan pembangunan fasilitas umum, seperti taman, justru kadang masyarakat menyalahgunakan tempat itu untuk tindakan yang tidak senapas dengan nilai keagamaan, bahkan tindakan asusila.
Padahal, lanjut dia, di kawasan tersebut terdapat tempat ibadah yang sejatinya tidak elok jika terjadi perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai keagamaan.
"Lanskap bernuansa islami, baik itu fisik maupun nonfisik, ini terlindas modernisasi pembangunan. Jika ini terjadi, memotong akar sejarah Islam di nusantara. Hal ini tidak positif bagi Indonesia," katanya.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu mengatakan bahwa usulan dari Wantim MUI untuk revitalisasi lanskap Islam itu sesuai dengan rekomendasi dari Kongres VI Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tahun 2015.
Dari KUII itu, lanjut Din, mengamanatkan agar tengara kebudayaan Nusantara yang berwarna dan bernuansa Islam tetap terpelihara dan dikembangkan sehingga tidak tergusur oleh pembangunan. Belakangan terdapat gejala tergerusnya lanskap bernapaskan Islam, termasuk agama lain akibat laju pembangunan, seperti tumbuhnya pasar dan pusat perbelanjaan.
Menurut Din, nuansa bernapaskan keagamaan itu lama-kelamaan tenggelam dengan hiruk pikuk pembangunan yang cenderung sifatnya kurang melestarikan kebudayaan keagamaan yang telah turun-temurun, bahkan telah ada berabad lamanya sebelum Indonesia merdeka. Jangan sampai, kata dia, kita kehilangan wawasan sehingga membolehkan dan membuka pintu kepada arus kapitalisme materialisme sehingga hal terkait kultural keagamaan itu terpelanting tergeserkan.
"Itu tidak baik bagi Indonesia. Mungkin itu terjadi tidak secara sengaja saat kita membuka diri terhadap pembangunan yang kapitalistik materialistik, industrialisasinya sangat gencar, mungkin secara alamiah akhirnya nilai-nilai keagamaan itu tergusur," tandasnya.