REPUBLIKA.CO.ID,BAGHDAD -- Pemerintah Daerah Kurdi (KRG) telah menyatakan kesiapannya untuk membekukan hasil referendum yang dilakukan untuk memisahkan diri dari Irak. Pernyataan ini disampaikan pada Rabu (25/10) setelah ketegangan semakin meningkat antara Erbil dan Baghdad.
KRG mengatakan pembekuan hasil referendum ini bertujuan untuk membuka dialog dengan pemerintah pusat di Baghdad, sesuai dengan Konstitusi Irak. Pemimpin KRG juga sedang bersiap untuk mengumumkan gencatan senjata dan menghentikan semua operasi militer di wilayah Kurdi.
"Karena Irak dan Kurdi menghadapi keadaan yang sangat serius dan berbahaya, kita semua diwajibkan untuk bertindak secara bertanggung jawab untuk mencegah kekerasan dan bentrokan lebih lanjut antara pasukan Irak dan Peshmerga," kata pernyataan yang dikeluarkan KRG, dikutip Reuters.
"Bentrokan telah menyebabkan kerusakan pada kedua belah pihak dan dapat menyebabkan pertumpahan darah terus menerus, menimbulkan rasa sakit, dan memicu kerusuhan sosial di antara berbagai komponen masyarakat Irak. Tentu, ini tidak akan mengarah pada kemenangan, tapi akan membuat negara ini kacau, hingga mempengaruhi semua aspek kehidupan," tambah pernyataan itu.
Namun seorang juru bicara militer Irak yang tidak menyebutkan namanya, mengatakan serangan akan terus dilakukan terlepas dari adanya pernyataan baru yang dikeluarkan KRG. "Operasi militer tidak terkait dengan politik," ujar juru bicara itu.
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi sempat mengatakan KRG harus membatalkan hasil referendum tersebut, sebagai prasyarat untuk melakukan perundingan dengan Baghdad. Namun Abadi, yang sedang melakukan kunjungan resmi ke Turki dan Iran, belum memberikan reaksi apapun terhadap usulan Kurdi untuk membekukan hasil referendum.
Saat ini dilaporkan tengah terjadi penumpukan militer Baghdad di wilayah Kurdi. Tekanan internasional kepada pemimpin KRG untuk mundur juga semakin meningkat.
Pada Senin (22/10), Gorran atau Gerakan untuk Perubahan, sebuah kelompok oposisi Kurdi yang menentang referendum, telah meminta pemimpin KRG Masoud Barzani untuk mengundurkan diri. Dalam sebuah pernyataan di situs resminya, Gorran mengatakan KRG harus dibubarkan karena telah membawa wilayah Kurdi ke dalam krisis yang mengerikan.
Stefanie Dekker dari Aljazirah, yang melaporkan langsung dari perbatasan Irak-Suriah, mengatakan pernyataan KRG itu sangat tidak terduga. "KRG selalu mengatakan hasil referendum itu garis merah. Sekarang yang kita dapatkan adalah tawaran dari pemerintah daerah itu, untuk membekukan hasilnya, melakukan gencatan senjata, dan berdialog," ujar Dekker.
Menurutnya, setelah KRG memberikan pernyataan ini semua mata akan tertuju pada langkah selanjutnya yang akan diambil oleh PM Abadi.
Penduduk wilayah semi-otonom Kurdi di Irak utara memilih untuk memisahkan diri dalam referendum yang diselenggarakan pada 25 September lalu. AS dan sekutu Barat Irak lainnya mendesak Barzani untuk membatalkan atau menunda pemungutan suara itu.
Beberapa negara memperingatkan, referendum tersebut akan mengalihkan perhatian Irak dari perang yang sedang berlangsung melawan ISIS. Dengan demikian situasi di kawasan menjadi tidak stabil.
Israel adalah satu-satunya negara di kawasan yang menyambut baik referendum itu. Referendum dilihat oleh banyak pihak sebagai awal dari fragmentasi wilayah menurut garis etnis dan kesukuan.
Lebih dari 92 persen memilih suara "Ya" untuk memisahkan diri dari Irak, dengan jumlah pemilih hampir 80 persen. Referendum tersebut memulai serangkaian peristiwa, yang berpuncak pada konfrontasi militer antara Erbil dan Baghdad.
Pasukan pemerintah Irak melancarkan operasi besar di Kirkuk pada 16 Oktober. Operasi itu bertujuan untuk merebut kembali Kirkuk yang dikuasai Kurdi, bersama ladang minyak dan pangkalan militer strategis yang ada di dalamnya.
Abadi, yang mendapat dukungan dari Teheran dan Ankara untuk melawan KRG, telah memerintahkan tentaranya untuk merebut kembali semua wilayah yang disengketakan. Ia juga menuntut pengawasan penuh atas penyeberangan perbatasan antara Irak dengan Turki, yang semuanya berada di dalam wilayah otonomi Kurdi.