Jumat 03 Nov 2017 22:22 WIB

Indonesia Disebut Darurat Berita Hoax

Ratusan siswa dan mahasiswa mengikuti acara deklarasi Bandung Hantam Hoax di halaman Masjid Raya Provinsi Jabar, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Senin (20/2).
Foto: Mahmud Muhyidin
Ratusan siswa dan mahasiswa mengikuti acara deklarasi Bandung Hantam Hoax di halaman Masjid Raya Provinsi Jabar, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Senin (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat berita hoax atau berita yang tidak terjamin kebenarannya seiring dengan interaksi masyarakat Indonesia di dunia maya yang semakin hari semakin tinggi.

Hal itu disampaikan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi Gun Gun Siswadi, ketika berbicara di Seminar Nasional bertema "Pers Sebagai Alat Pemersatu Bangsa" di Alahan Panjang Resort, Kabupaten Solok, Sumatera Sumatera Barat, Jumat (3/11), demikian siaran pers yang diterima Antara.

Seminar ini diselenggarakan sebagai kegiatan menuju Hari Pers Nasional 2018 yang akan dipusatkan di Padang, Sumatera Barat, bulan Februari 2018 mendatang. "Data terakhir yang kami miliki memperlihatkan bahwa pengguna internet di Indonesia sebanyak 132,7 juta, dengan 129,2 juta di antaranya adalah pengguna media sosial pada level aktif," ujar Gun Gun.

Dari sekian banyak informasi yang berkembang di dunia maya, tidak sedikit yang merupakan informasi yang pantas untuk diragukan kebenarannya. Namun, karena tidak memiliki kemampuan menyaring berita bohong, tak jarang masyarakat menerima begitu saja dan bahkan ikut menyebarkan kabar bohong.

Seminar yang dilaksanakan oleh Biro Humas Setda Sumbar ini dihadiri oleh Kepala Humas Provinsi se-Indonesia, Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Sumbar dan insan pers di Sumbar.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono sependapat dengan Gun Gun. Menurut Margiono yang juga Ketua Panitia Pusat HPN 2018, masyarakat Indonesia tengah berada pada era di mana kebenaran dan kebohongan semakin sulit dibedakan.

Ia mengatakan, diperlukan proses yang tidak singkat untuk menemukan kebenaran dari sebuah peristiwa. Misalnya, saat terjadi peristiwa pembunuhan, polisi menetapkan seseorang sebagai tersangka. Walaupun ada yang telah ditetapkan sebagai tersangka, proses pencarian kebenaran atas peristiwa pembunuhan itu belum selesai. Masih dibutuhkan proses pengadilan untuk memastikan kebenaran fakta pembunuhan yang terjadi.

Pengadilan pun, sambung Margiono, tidak begitu saja bisa memutuskan fakta dalam kasus pembunuhan, karena membutuhkan keterangan-keterangan tambahan dari saksi dan ahli-ahli yang memahami peristiwa tersebut dalam pendalaman kasus.

Margiono berharap masyarakat memiliki kemauan untuk merunut sebuah informasi demi menemukan kebenaran faktual sebuah peristiwa. Pers, di saat yang bersamaan juga bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang memang berdasar pada kebenaran faktual.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement