Selasa 07 Nov 2017 18:11 WIB

Pencak Silat Membawa Steven Krauss ke Islam

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
pendekar pencak silat (ilustrasi)
Foto: www.anak-harimau.at
pendekar pencak silat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemilik nama lengkap Steven Eric Krauss ini, masih mengingat betul peristiwa bersejarah sepanjang hidupnya itu. Ya, pada 30 Juli 1999, ia memutuskan berikrar syahadat. Keputusan sangat krusial yang menentukan arah hidupnya hingga kini. 

Meski terlahir dari keluarga Protestan, sebelum mengenal Islam, Krauss adalah pribadi liberal dan anti segala sesuatu yang berbau dogmatis maupun paksaan atas nama agama. Selama lebih dari 25 tahun, ia masih awam terhadap keyakinan yang ia anut sejak kecil itu.

Ia lebih tertarik mencari makna spiritual di luar konsep agama, yang baginya terlalu terorganisir. Bagi saya, agama telah keluar dari sentuhan dan tidak relevan dengan zaman, katanya.

Kenyataan ini membuat Krauss semakin tidak percaya agama. Sangat sulit baginya mempraktikkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Ia selalu tidak menyukai jika diatur atas nama agama.

Keengganan Krauss memperdalam ajaran agama juga akibat kebingungannya dengan konsep ketuhanan. Tidak ada alasan jelas dan rasional untuk menerima konsep itu, katanya.  

Pada awalnya, Krauss tidak begitu memedulikan Islam. Islam sangat berbeda baginya. Tata cara ibadah umat Islam begitu sulit dimengerti.

Perkenalan Steven Eric Krauss dengan Islam dimulai saat ia masih menjadi mahasiswa pascasarjana di New York City pada 1998.

Teman sekamar Krauss yang merupakan Yahudi, selalu menceritakan tentang makna spiritual dari kelas seni silat yang ia ikuti.

Saat itu, Krauss tidak mengetahui apa-apa tentang silat. Krauss tertarik dengan cerita temannya dan memutuskan untuk menemani teman sekamarnya latihan silat di suatu pagi.

Saat inilah perkenalannya dengan Islam dimulai. Guru pencak silat yang seorang Muslim menjadi langkah awal menuju Islam.  Seiring berjalannya waktu, ketertarikan Krauss kepada silat dan Islam semakin besar.

Ia menghabiskan banyak waktu dengan gurunya. Bahkan, setelah latihan, Krauss dan temannya akan berkunjung ke rumah guru untuk memperoleh ilmu lebih banyak lagi.

Melalui sang guru silat, Krauss belajar banyak tentang Islam. Ia dipertemukan langsung dengan umat Islam yang taat dan melihat dengan mata kepala praktik Islam di kehidupan sehari-hari.

Ia menyadari, Islam adalah gaya hidup. Ketika Anda berada dalam lingkungan Islam, Anda tidak bisa memisahkannya dari kehidupan sehari-hari, katanya.

Bagi Krauss, kenyataan ini begitu berbeda dari agama yang ia anut terdahulu. Di agamanya dahulu, terjadi pemisahanan antara kehidupan sehari-hari dan agama.

Sedangkan Islam mewajibkan umatnya untuk mengintegrasikan Allah dengan segala sesuatu yang dilakukan. Kecintaan Krauss terhadap gaya hidup yang dipraktikkan umat Islam semakin besar. Ia begitu mengagumi Islam.

Ia mengaku bersyukur atas kemudahan yang diberikan Allah, sehingga ia dapat mempelajari Islam dengan baik dan menjalani perubahan hidup di Amerika sebagai Muslim taat. 

Di Amerika, banyak aspek budaya yang sangat berbeda dengan Islam. Bahkan ketika ia menyampaikan kabar kepada keluarga bahwa ia telah menjadi Muslim.

Ia menerima pertanyaan dan keprihatinan menyangkut perbedaan budaya seperti perkawinan, kehidupan sosial, dan keluarga. Keluarga dan teman-temannya berpendapat bahwa menjadi Muslim tidak selalu negatif. Hanya saja, dengan menjadi Muslim, maka diperlukan pemahaman yang banyak tentang Islam.

Totalitas Mempraktikkan Islam

 

Seiring berjalannya waktu, pemahamannya akan Islam menjadi tumbuh.    Krauss menyadari, budaya Amerika begitu menjunjung tinggi kebebasan.  Budaya Amerika sangat menarik bagi kehidupan duniawi.

Di Amerika, kebahagiaan didefinisikan dengan apa yang dimiliki dan apa yang dikonsumsi. Memutuskan taat beragama berarti siap menerima perlakuan kurang menyenangkan di masyarakat.

Sebagai seorang sosiolog, ia banyak mengamati fenomena dan penyakit sosial yang melanda masyarakat. Setelah ber-Islam, ia menyimpulkan, merebaknya penyakit sosial tersebut akibat perilaku sosial yang tidak sehat. 

Bagi Krauss, Islam bukan hanya relevan dengan kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, Islam memang berbeda dari agama-agama lain. Hanya Islam yang memberikan pengetahuan dan bimbingan untuk setiap aspek kehidupan.

Cuma Islam yang memberikan cara untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan dalam setiap dimensi kehidupan. Baik secara fisik, spiritual, mental, keuangan, dan lain sebagainya. Dan Islam sajalah yang memberikan tujuan hidup yang jelas.

Yang tak kalah penting, Islamlah yang menunjukkan cara yang tepat untuk berkontribusi di masyarakat. Ini adalah jalan menuju tujuan, makna, kesehatan dan kebahagiaan. Hal ini karena  jalan yang lurus ke sumber kebenaran dan kekuasaan yang sesungguhnya, yaitu Allah, ujarnya.

Pemahaman ini diperoleh Krauss ketika ia total menjadi Muslim dan menjalani ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Menurutnya, secara harfiah, segala sesuatu yang dilakukan memiliki satu tujuan yang mendasari, yakni untuk mengingat Allah.

Dan dengan mengingat Allah, segala sesuatu yang kita lakukan menjadi fokus pada-Nya. Dengan mengingat Allah terus-menerus, maka kita menjadi kuat dan sehat dalam setiap aspek kehidupan, dan tidak terganggu oleh pikiran dan perilaku negatif yang muncul dari dalam diri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement