REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Tidak banyak yang tahu jika lorong sempit di sudut Kampung Panyingkiran, Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat adalah saksi bisu asal muasal Payung Geulis (elok atau cantik). Di tepian Sungai Ciloseh itu, pasangan perajin Payung Geulis generasi awal, Aah (72) dan Hanan Sumarna (74) masih berkarya mencipta payung yang menjadi kerajinan khas Tasikmalaya itu.
Payung Geulis merupakan payung yang dilukis dengan motif hias geometris dengan bentuk bangunan maupun non geometris yang diambil dari bentuk alam. Umumnya payung ini memiliki rangka bambu. Rangka itu dirangkai dan dipasang kain serta kertas sebelum dirapikan menggunakan kanji. Lalu payung setengah jadi itu dilukis dengan berbagai warna dan corak. Payung itu pernah populer di sekitar tahun 1960 sebagai alat pelindung panas dan hujan. Aah dan Hanan adalah saksi dari masa kejayaan payung itu. Kala itu hampir seluruh penduduk di Panyingkiran berprofesi sebagai perajin payung.
Namun masa keemasan Payung Geulis tak berlangsung lama. Sejumlah sumber menyebutkan era Payung Geulis meredup karena pemerintah membuka diri untuk barang impor pada 1968. Sementara menurut Hanan, hilangnya kepopuleran Payung Geulis terjadi pada 1963 karena serbuan payung modern buatan Jepang. Hanan mengingat bahwa tahun sebelum payung Jepang merajalela, rombongan orang Jepang datang ke Panyingkiran untuk mempelajari keseluruhan proses pembuatan payung lukis itu.
“Kita ajari mereka semua, tidak tahu kalu tujuannya untuk meniru. Eh tidak tahunya, setahun kemudian payung Jepang masuk ke Tasikmalaya, di situlah payung lukis mati,” kenang Hanan.