REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud menerima panggilan telepon dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Selasa (5/12). Trump menghubungi Raja Salman untuk memberitahu rencananya untuk memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Dalam pembicaraan via telepon tersebut, Raja Salman menegaskan dukungan Saudi unuk hak-hak historis rakyat Palestina. Ia pun mengatakan diubahnya status Yerusalem sebelum tercapainya kesepakatan antara Palestina dan Israel akan membahayakan perundingan damai kedua negara. Selain itu, langkah AS mengubah status Yerusalem berpotensi meningkatkan ketegangan di daerah tersebut.
Raja Salman secara tegas menyampaikan kepada Trump bahwa rencananya memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem akan membakar kemarahan umat Islam di seluruh dunia.
"Langkah berbahaya semacam itu kemungkinan akan membakar kemarahan umat Islam di seluruh dunia karena status Yerusalem yang besar dan Masjid Al-Aqsha," kata Raja Salman seperti dilaporkan kantor berita resmi Saudi, Saudi Press Agency.
Baca juga, Pejabat: Trump akan Umumkan Yerusalem Jadi Ibu Kota Israel Hari Ini.
Hal ini sebelumnya juga telah disampaikan Duta Besar Arab Saudi untuk AS Pangeran Khalid bin Salman. Ia mengatakan, rencana AS mengubah status Yerusalem akan melukai proses perundingan damai antara Palestina dan Israel. Selain itu, hal itu juga sangat berpotensi memicu ketegangan di daerah tersebut.
"Kebijakan Kerajaan (Saudi) telah dan tetap mendukung rakyat Palestina. Hal ini telah disampaikan ke Pemerintah AS," ujar Pangeran Khalid.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pada Selasa, mengucapkan terima kasih atas komitmen dan sikap Saudi terkait rencana AS yang ingin mengubah status Yerusalem. Menurut Abbas, hal ini jelas menunjukkan dukungan Saudi terhadap Palestina dan rakyatnya.
Rencana Trump untuk memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem merupakan salah satu dari janji kampanyenya pada proses pilpres AS tahun lalu. Saat ini, Trump diyakini hendak merealisasikan janji kampanyenya tersebut.
Namun hal ini mendapat penentangan dan kecaman dari berbagai negara, terutama negara-negara Arab. Langkah Trump terkait Yerusalem tersebut dinilai berpotensi merusak proses perdamaian Palestina dengan Israel dan memicu ketegangan.