REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Faridah
Di antara tindak kejahatan paling besar dan berbahaya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara adalah korupsi. Dampak dari tindak kejahatan ini sangat luar biasa. Negara menjadi bangkrut dan semakin lama semakin rapuh dan bisa-bisa di ujung tanduk kehancuran.
Allah SWT sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita semua, bahkan hingga saat ini, untuk tidak berbuat curang, termasuk di dalamnya praktik-praktik korupsi, dalam mengelola harta negara. “Siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang dengan yang harta yang dicuranginya. Kemudian, tiap-tiap diri akan dibalas penuh sesuai dengan perbuatannya” (QS Ali ‘Imran [3]: 161).
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 188).
Korupsi banyak dilakukan oleh para pejabat yang memegang tampuk pimpinan, mulai tingkat terbawah hingga teratas. Sebuah adagium politik menyebutkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Para penguasa berpotensi korup. Padahal, para pejabat dan pemimpin hakikatnya adalah pengemban amanat, yang tidak boleh dikhianati, sekecil apa pun itu. Para pejabat perlu belajar bagaimana mengelola bangsa dan negara ini secara baik pada dua khalifah populer antikorupsi yang mencontoh dan mempraktikkan ajaran-ajaran Rasulullah SAW, yakni Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Azis.
Dikisahkan, Umar mengangkat Abu Hurairah sebagai pejabat yang bertugas memungut zakat dari umat Islam yang mampu. Dan, dengan sangat baik, tugas itu dilaksanakan oleh Abu Hurairah. Ketika melaporkan hasil kerjanya di hadapan Umar, terlihat ada sesuatu di tangan Abu Hurairah. Umar bertanya, “Wahai Abu Hurairah, dari mana engkau dapatkan barang yang ada di tanganmu?”
Abu Hurairah menjawab, “Wahai Umar, ini dari salah satu pembayar zakat yang memberikannya padaku sebagai hadiah.” Mendengar itu, Umar memerintahkan Abu Hurairah untuk memberikan juga harta itu ke kas negara (baitulmal). Karena, menurut Umar, seorang pejabat tidak boleh menerima hadiah apa pun ketika sedang bekerja.
Diceritakan pula, pada masa Umar bin Abdul Azis, para pejabat penanggung jawab baitulmal menghadiahi putri Umar dengan kalung emas. Tatkala melihat sang putri memakai kalung emas, Umar bertanya, “Wahai putriku, dari mana engkau dapatkan kalung itu? Atau, bagaimana bisa sampai engkau memakainya?” Sang putri mengatakan bahwa kalung itu adalah hadiah yang menurutnya layak ia terima dari bagian baitulmal. Mendengar itu, Umar langsung menyuruh putrinya untuk mengembalikan kalung emas ke baitulmal. Umar menegaskan bahwa itu adalah harta kaum Muslimin.
Melihat putrinya masih enggan mencopot kalungnya, Umar menasihati, “Wahai putriku, takutlah engkau akan hari di mana engkau akan datang ke mahkamah Tuhan dengan membawa barang yang kau terima sewaktu di dunia!” Akhirnya, sang putri menurut dan mengembalikannya ke baitulmal. Dua teladan antikorupsi dari dua pemimpin besar itu telah menjadikan rakyat percaya penuh pada pemimpinnya. Dan, itu membuat mereka dicintai rakyatnya. Wallahu a’lam.