REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu hari Hanzhalah Al Usayyidiy, salah satu juru tulis Rasulullah SAW bertemu dengan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu. Dia kemudian ditanya sahabat nomor wahid Rasulullah. Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah? Dia lantas menjawab, Hanzhalah kini telah jadi munafik.
Abu Bakar lantas berkata, Subhanallah, apa yang engkau katakan? Dia pun menjawab, Kami jika berada di sisi Rasulullah SAW, kami teringat kepada neraka dan surga sampai-sampai seperti melihatnya di ha dapan mata. Saat keluar dari majelis Rasulullah dan bergaul dengan istri dan anak, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa. Menanggapi perkataan Hanzhalah, Abu Bakar lantas menjawab, Kami pun begitu.
Dua sahabat ini kemudian menghadap Rasulullah SAW. Mereka mengadukan masalah yang berkecamuk di dada mereka. Rasulullah lantas menjawab, Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau terus menerus dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingat nya, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat. Rasulullah mengulangi sampai tiga kali.
Kisah yang dikutip dari HR Muslim No. 2750 ini mengisahkan betapa sahabat sangat berhati-hati pada sifat munafik. Padahal, boleh jadi apa yang mereka lakukan merupakan bentuk naik turunnya iman. Layaknya roller coaster, iman seorang manusia memang terkadang di atas, sedangkan lain waktu di bawah.
Meski kualitas keimanan para sahabat tidak diragukan, mereka masih takut terjerembap pada sifat kemunafi kan. Mereka boleh jadi sadar rentannya sifat munafi k karena orang-orang munafi k bukanlah non-Islam. Kita bisa menukil dari QS An-Nisa ayat 142-143 yang secara eksplisit menyebutkan sifat orang munafi k.