REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kreasi para perajin Muslim abad pertengahan tidak kalah hebat dalam mengharumkan kegemilangan peradaban Islam. Berbagai produk seni dan budaya bertebaran di berbagai wilayah serta menjadi benda bernilai tinggi, termasuk di antaranya aneka kerajinan dari bahan kayu.
Selama ini dipahami sebagian besar provinsi Islam di Timur Tengah terdiri dari kawasan tandus dan padang pasir. Artinya, tidak memungkinkan hadirnya sentra kerajinan kayu karena ketiadaan bahan baku. Karena itu, produk kerajinan yang paling menonjol adalah yang terbuat dari bahan tembikar (porselen) atau logam.
Namun, tidak demikian adanya. Beberapa wilayah yang dikuasai kaum Muslim, khususnya di Suriah, Afrika Utara, Palestina, Andalusia, Balkan, Asia Tengah, dan Iran bagian utara, memiliki kawasan pepohonan serta hutan pegunungan. Inilah sumber bahan baku utama kerajinan kayu.
Dari situ pula muncul sentra produksi kerajinan kayu. Para perajin kayu menghasilkan beragam barang, mulai dari furnitur, peralatan rumah tangga, maupun ukiran. Itu merupakan komoditas dagang yang penting sehingga perajin kayu pun menjadi profesi yang digemari.
Pusat produksi kerajinan kayu berkembang ke sejumlah wilayah, misalnya saja Irak dan Mesir. Seperti tertera dalam buku The Groove Encyclopedia Islamic Art and Architecture, Jonathan Bloom dan Sheila Blair mengatakan, kedua sentra kerajinan kayu itu harus mendatangkan bahan baku dari luar wilayah.
Kedua sejarawan tersebut mencatat, sepanjang dua abad pertama hegemoni Islam, di beberapa wilayah semisal Afrika, Anatolia, dan Iran bagian utara, masih terdapat banyak kawasan berhutan. Kayu yang dihasilkan hutan itu digunakan untuk membuat kapal, furnitur, konstruksi bangunan, dan lainnya. Sebagian dari produk itu dijual ke berbagai wilayah.
Saat itu, kawasan oasis di seputar ibu kota Dinasti Umayyah, Damaskus, juga menyediakan kayu berkualitas tinggi. Kayu itu terutama merupakan pendorong bagi geliat industri berbahan kayu di sana.
Namun, ungkap Jonathan Bloom dan Sheila Blair, laju deforestasi menghadirkan dampak negatif. Persediaan bahan baku kayu semakin menyusut dan itu meluas hingga ke wilayah Mediterania Timur.
Sejarah mencatat, penguasa Dinasti Fatimiyah (969-1171) serta Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1169-1252) memerintahkan agar dilakukan program penghijauan dan penanaman pohon. Hingga pada satu periode, kaum Muslim pernah mendatangkan bahan kayu dari Eropa Barat.
Ini membuat harga produk kerajinan kayu melambung tinggi. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Paus, pemimpin spiritual kaum Nasrani, lantas melarang ekspor kayu ke dunia Islam karena khawatir akan digunakan untuk membuat kapal-kapal perang.
Kelangkaan kayu berukuran besar berimbas pada produk yang dihasilkan. Jika sebelumnya dapat dibuat berbagai barang dengan ukuran cukup besar dan panjang, maka kemudian lebih didominasi benda-benda kayu berukuran sedang dan kecil.
Benda dari kayu yang berukuran besar misalnya kapal, kereta kuda, kursi atau meja besar, pintu, dan mihrab. Adapun yang berukuran kecil antara lain lis jendela, tatakan buku, dan beragam ukiran.
Lebih jauh Jonathan Bloom dan Sheila Blair memaparkan, jenis-jenis pohon yang biasa digunakan sebagai bahan kerajinan kayu di antaranya pohon sycomore, jujube, akasia, oak, eboni, pinus, maupun batang pohon kurma.