Jumat 05 Jan 2018 16:01 WIB

Mensyukuri Musibah

Musibah erupsi gunung berapi di Indonesia (ilustrasi).
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
Musibah erupsi gunung berapi di Indonesia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: H Karman

Musibah dan anugerah dua keadaan yang dipisahkan oleh garis tipis. Karena tipisnya, terkadang keduanya menempati posisi bergantian. Pada umumnya, orang biasa bersyukur ketika mendapatkan anugerah dan kufur ketika terkena musibah. Namun, ada juga sebagian orang yang bersyukur ketika terkena musibah dan kufur ketika mendapatkan anugerah.

Ada banyak orang menemukan makna hidup (hidayah) ketika ditimpa musibah. Dan penemuan makna hidup tersebut dianggapnya sebagai anugerah yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, bagi orang-orang ini musibah dirasakan sebagai anugerah, sehingga dari hatinya yang paling dalam sering terlontar ungkapan rasa syukur, seperti alhamdulillah, subhaanallah, laa haula walaa quwwata illa billah.

Sebaliknya, tidak sedikit orang yang diberi anugerah berupa harta banyak, kedudukan tinggi dan tubuh sehat, tapi tidak dapat menemukan makna hidup darinya. Alih-alih menemukan makna hidup, anugerah yang dimilikinya malah menyebabkan hatinya selalu gelisah karena takut kehilangan dan mulutnya senantiasa berkeluh kesah karena senantiasa merasa kekurangan. Akibatnya, anugerah yang ada berubah menjadi musibah, bukannya disyukuri malah dikufuri.

Bagaimana cara mensyukuri musibah? Ini pertanyaan penting, sebab merupakan persoalan yang jarang terjadi. Adapun mensyukuri anugerah sudah banyak jawaban dan ulasannya.

Menurut Syekh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, setidaknya ada dua cara untuk dapat mensyukuri musibah. Pertama, hendaknya banyak melihat orang yang mendapat musibah lebih parah dari kita. Kalau ditimpa musibah sakit, misalnya, lihatlah orang yang lebih parah sakitnya daripada kita, jangan banyak melihat orang yang lebih sehat. Jika cara menghadapi musibah seperti ini, insya Allah kita akan senantiasa menjadi hamba yang bersyukur, sekalipun sedang ditimpa musibah.

Hal tersebut ditegaskan oleh Nabi SAW, "Janganlah kalian melihat orang yang di atas kalian, dan lihatlah pada orang yang di bawah kalian karena itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian." (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, kita harus yakin bahwa di balik musibah ada banyak kebaikan. Musibah secara bahasa berasal dari kata shaaba yang berarti baik atau benar. Kemudian ditambah alif menjadi ashaaba yang berarti menimpa. Jadi, musibah secara bahasa berarti segala sesuatu yang menimpa kita yang besertanya terdapat kebaikan atau kebenaran.

Pengertian musibah seperti itu sesuai dengan sabda Nabi SAW, "Barang siapa yang diinginkan Allah untuk mendapat kebaikan, Allah akan membe rinya musibah." (HR Bukhari). Musibah dapat menghapuskan dosa. "Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa, melainkan dosa-dosanya akan diampuni." (HR Muslim).

Jadi, pada musibah itu ada kebaikan dan kasih sayang Allah. Merespons kebaikan dan kasih sayang Allah dengan keluh kesah, menjadi sesuatu yang aneh. Mestinya, kebaikan dan kasih sayang Allah direspons dengan rasa dan sikap syukur. Wallahu a'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement