REPUBLIKA.CO.ID, Di Sumatera Barat, pada awal abad ke-20, perkembangan modernisme Islam berjalan seiring dengan kesadaran anti-kolonialisme. Wujudnya, antara lain ditandai dengan pendirian Sumatera Thawalib (1919) dan Diniyah Putri (1923). Lulusan-lulusannya di kemudian hari banyak menjadi ulama dan pejuang kemerdekaan. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal dua sekolah Islam itu mengusung semangat kemajuan Islam dan nasionalisme.
Salah seorang alumnus Sumatera Thawalib adalah KH Abdul Gaffar Ismail. Ulama yang lahir di Jambu Air, Bukittinggi, pada 11 Agustus 1911 ini seangkatan dengan Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Gurunya adalah Syekh Ibrahim Musa, yang sebelumnya pernah belajar pada imam besar Masjid al-Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Abdul Gaffar Ismail menikah dengan Siti Nur Muhammad Nur, yang lahir di Pandai Sikek, Padangpanjang, pada 29 Juni 1914. Tinur, demikian sapaannya, merupakan angkatan pertama Diniyah Putri. Pasangan suami istri ini awalnya dikenal sebagai aktivis muda Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Partai yang terbentuk pada 1930 itu mengusung ideologi modernisme Islam sekaligus nasionalisme. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Sukarno menaruh simpati yang besar terhadap PERMI. Demikian pula sebaliknya.
Pemerintah kolonial Belanda sangat mencurigai PERMI yang terang-terangan menyuarakan tuntutan Indonesia merdeka. Dua tahun kemudian, para pemimpin PERMI mulai ditahan. Awalnya, dua pemuka partai tersebut, yakni Rasuna Said dan Rasimah Ismail (adik Abdul Gaffar Ismail), ditangkap lalu diasingkan ke Semarang pada 1933. Saat itu, kedua orator ulung ini masih berusia sekitar 22 tahun. Selanjutnya, para pemimpin PERMI yang lebih senior ditangkapi dan dibuang ke Digul. Mereka adalah Muchtar Lutfi, Iljas Jacoub, dan H Djalaluddin Thaib.
Abdul Gaffar dan Tinur tidak luput dari sasaran kolonial. Pasangan muda ini kemudian diusir dari wilayah Sumatra Barat. Lantaran menjalani hukuman passen-stelsel, mereka boleh menentukan sendiri kota tempat pembuangan. Abdul Gaffar pun memilih Pekalongan. Sejak lama, kota ini dikenal sebagai pusat industri batik di pantai utara Pulau Jawa. Kaum saudagar Muslim asal Minang dan Mandailing telah lama menjalin hubungan dengan para saudagar setempat.
Saat hijrah ke Pekalongan, Abdul Gaffar Ismail baru berusia sekitar 23 tahun. Seperti digambarkan Taufiq Ismail dalam Mengenang 100 Tahun KH A Gaffar Ismail, masyarakat Pekalongan menerima suami istri ini dengan sangat baik. Agaknya, mereka juga bersyukur akan kedatangan ulama muda yang juga dikenal anti-kolonialisme Belanda. Sebuah rumah di Jalan Kejaksaan 52 (belakangan menjadi Jalan Bandung Nomor 60) pun diberikan kepada Abdul Gaffar sekeluarga.
Intelijen dari kepolisian Belanda tetap mengawasinya. Tekanan yang lebih halus juga datang. Pemerintah kolonial menawarkan kepadanya jabatan imam besar Masjid Agung Pekalongan. Tanpa ragu, Abdul Gaffar Ismail menolak. Dia tidak mau menduduki jabatan imam yang tidak lain adalah pegawai birokrasi kolonial.
Sementara itu, keinginannya untuk membangun pesantren di Pekalongan ditampik Belanda. Dia tidak patah arang. Dengan dukungan kaum Muslim, baik perantauan maupun masyarakat Pekalongan, Abdul Gaffar Ismail menyelenggarakan pengajian umum setiap malam Selasa di selasar rumahnya.
Menurut Taufiq Ismail, pengajian ini berlangsung dua periode yakni enam tahun (1935-1941) dan kemudian disambung lagi sesudah zaman revolusi yakni 44 tahun lamanya (1953-1997). Jamaahnya datang berduyun-duyun dari pelbagai penjuru. Sering kali jumlahnya melampaui kapasitas tempat yang ada sehingga memadati ruas Jalan Kejaksaan dan sekitarnya serta lapangan di dekat kediaman KH Abdul Gaffar Ismail. Bagaimanapun, sistem pengeras suara cukup bagus sehingga pengajian ini selalu berjalan lancar.
Dalam pengajian malam Selasa, KH Abdul Gaffar Ismail biasanya membahas tafsir Alquran dan tasawuf. Metodenya berupa pembahasan atas surah-surah tertentu di dalam Alquran. Tema tasawuf dijelaskannya melalui kisah-kisah para sufi dan rasul. Dalam pengajian, tidak ada tanya-jawab. "Barulah dalam forum diskusi atau menerima tamu di rumah, yang tak putus-putusnya jamaah berdatangan setiap hari, biasanya tanpa janji, ada tanya-jawab itu," ungkap Taufiq Ismail. Sementara itu, istri KH Abdul Gaffar, Tinur, mengajarkan tafsir Alquran untuk kaum ibu dan gadis.
Anak pertama KH Abdul Gaffar Ismail itu menuturkan, pengajian rutin malam Selasa populer di tengah masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya. Sebab, gaya tutur dan pengetahuan agama KH Abdul Gaffar Ismail memukau para pendengar. Bahasanya indah, diksinya puitis, logatnya Padang. Kritiknya tajam tetapi di sana-sini jenaka pula karena beliau suka humor, terang penyair Angkatan 66 ini. Para jamaah juga kerap terbawa perasaan, sampai-sampai menitikkan air mata, bilamana sang kiai menyampaikan tema kematian (dzikrul maut).
Sejak masih di Sumatra Barat, KH Abdul Gaffar Ismail sudah menggemari bacaan. Di Pekalongan, dia memiliki perpustakaan pribadi yang cukup besar. Banyak buku yang dimilikinya merupakan terbitan Kairo (Mesir) dan Beirut (Lebanon) lantaran kefasihannya berbahasa Arab. Untuk mengumpulkan bahan pengajian rutin, sang kiai berjam-jam lamanya menelurusi kitab-kitab serta membuat catatan.