REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah laporan terbaru menyebut keterlibatan Muslim dalam aksi ekstremisme di Amerika Serikat menurun tahun lalu. Jumlah Muslim Amerika yang didakwa kejahatan terkait kekerasan ekstremisme turun menjadi 33 orang pada 2017.
Tahun 2016, jumlahnya sebanyak 46 orang dan 81 orang pada 2015. Laporan tahunan bertajuk 'Keterlibatan Muslim-Amerika dengan Kekerasan Ekstremisme 2017' itu dibuat Profesor Sosiologi Charles Kurzman dari University of North Carolina.
Laporan dirilis Kamis (18/1). Dalam wawancara dengan VOA, Kurzman mengatakan penurunan ini merupakan perubahan tren dari kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump dibanding tahun 2015 saat AS terpapar langsung oleh kampanye ISIS.
Faktor lainnya adalah keputusan Turki untuk menutup perbatasannya pada orang asing yang hendak pergi ke Suriah dan Irak. "Meski kita melihat Trump melecehkan kebijakan pemerintah sebelumnya, pada praktiknya, ia melakukan hal yang sama," kata Kurzman.
Menurut laporan, sebagian besar dari 33 kasus terorisme yang tercatat pada 2017 melibatkan orang yang pergi keluar negeri untuk bergabung dengan kelompok terorisme. Empat diantaranya dituduh menargetkan AS dan dua kasus tidak diketahui targetnya.
Aksi paling mematikan dilakukan oleh Sayfullo Saipov yang merupakan imigran asal Uzbekistan. Ia mengemudikan truk dan menabraki orang-orang di New York pada Oktober. Insiden ini menewaskan delapan orang.
Kurzman mencatat, semua aksi yang dilakukan Muslim tahun lalu menewaskan 17 orang sehingga total korban tewas oleh Muslim Amerika sejak 11 September 2001 menjadi 140 orang. Dalam periode yang sama, tercatat ada 260 ribu aksi pembunuhan di seluruh AS.
"Sangat menarik melihat penurunan ini, padahal ketakutan tetap tinggi dan naik karena kampanye anti-Muslim Trump," kata dia. Menurut Kurzman, kebijakan Trump seharusnya bisa meningkatkan kekerasan yang dilakukan Muslim.
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement