REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Syam sendiri disebut-sebut mengacu pada salah satu nama putra Nuh yang selamat dari musibah banjir, Sam. Banyak nabi lahir di negeri ini. Dari Syam pula lahir bangsa Semit yang melahirkan agama Ibrahimiyyah, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tak seperti negeri Arab lain yang dikelilingi gurun pasir, tanah Syam jauh lebih subur dan banyak meninggalkan peradaban manusia.
Kontak pertama nabi dengan Syam terjadi saat Rasulullah masih berusia remaja. Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry dalam Sirah Nabawiyyah menyebutkan, saat itu usia Nabi baru sekitar 12 tahun. Dia turut serta dalam perjalanan dagang pamannya, Abu Thalib.
Pada perjalanan inilah terjadi sebuah pertemuan Nabi dengan rahib Nasrani yang mengenalinya sebagai bakal utusan Allah terakhir. Kisah pertemuan tersebut sangat terkenal, mengingat inilah kali pertama orang lain melihat sisi kenabian Muhammad meski dia baru diutus hampir 30 tahun setelahnya.
Pertemuan dengan pembesar Nasrani, Bahirah Ar-Rahib, terjadi ketika kafilah dagang Abu Thalib tiba di dekat Kota Bushra, pinggiran Syam. Bahirah menyusup di antara kerumunan pedagang, kemudian memegang tangan Nabi. “Anak ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini adalah utusan Rabb semesta alam. Ia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam,” ujarnya.
Melihat tingkah Bahirah, orang-orang pun bertanya, apa gerangan tanda yang dimiliki Muhammad sehingga Bahirah mampu menebak kenabiannya. Maka, Bahirah menjawab, “Sebenarnya, ketika kalian mendaki bukit, tidaklah tersisa bebatuan ataupun pepohonan, kecuali mereka tunduk sujud, dan tidaklah mereka sujud melainkan kepada seorang nabi. Sungguh, aku mengetahuinya dari tanda (cap) kenabian yang ada di bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel dan kami menjumpai keterangan itu di kitab-kitab kami,” kata Bahirah.
Melihat tanda kenabian luar biasa, Bahirah pun meminta Abu Thalib tak membawa Rasulullah masuk ke negeri Syam. Dia khawatir Nabi diganggu orang Yahudi dan Romawi. Maka, Abu Thalib pun mengembalikan Nabi ke Makkah.
Itulah kali pertama Rasulullah melakukan perjalanan ke negeri Syam. Ketika dewasa dan menjadi pedagang, Rasulullah kembali ke Syam untuk menjual barang-barang yang dimodali oleh wanita Quraisy yang kemudian menjadi istrinya, Khadijah binti Khuwailid.
Setelah era kerasulan, Nabi Muhammad tetap memperhatikan Syam untuk menjadi salah satu medan dakwah. Di antara banyak surat yang ditulis untuk para pembesar negeri, Rasulullah juga mengirimkannya kepada penguasa negeri Bashra, Syam.
Sayangnya, surat tersebut tak sampai karena utusan Rasul dihadang musuh di kawasan Mu’tah, bagian selatan Yordania. Al-Harits bin ‘Amir Al-Azdy merupakan sang utusan pembawa surat yang dipenggal lehernya di wilayah tersebut.
Peristiwa ini pun sangat membuat nabi sedih, mengingat baru kali ini seorang utusan diperlakukan keji, bahkan hingga terbunuh. Maka, pembunuhan ini menjadi pernyataan perang negeri Bushra. Meletuslah Perang Mu’tah akibat insiden tersebut.
Sirah Nabawiyyah menyebutkan, Perang Mu’tah terjadi pada Jumadil Awal tahun ke-8 hijriah. Rasulullah mengirimkan pasukan yang terdiri atas 3.000 personel dengan pimpinan Zaid bin Haritsah yang merupakan putra angkat nabi. Disebutkan, Rasulullah menasihati pasukan untuk mendatangi tempat terbunuhnya sang utusan, Al-Harits, kemudian mendakwahkan Islam di sana sebelum menghunuskan pedang.
Jika pihak lawan tetap menolak maka perang dimulai. “Berperanglah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Bunuhlah orang yang melakukan kekafiran kepada Allah. Janganlah kalian menipu dan mencuri harta rampasan perang. Jangan pula membunuh anak-anak, wanita, dan orang-orang yang sudah tua renta. Juga, janganlah kalian merusak tempat ibadah mereka, menebang pohon kurma dan pohon apapun, serta jangan merobohkan bangunan,” sabda Rasul menasihati etika berperang.
Di pihak lawan, Syam saat itu dikuasai Romawi. Dipimpin Heraklius, pasukan lawan terdiri atas 100 ribu pasukan Romawi ditambah 100 ribu pasukan dari masyarakat Arab setempat. Sungguh jumlah yang tak seimbang dengan pasukan Muslimin yang hanya 3.000 orang saja.
Namun, pertempuran tak seimbang tersebut tetap terjadi. Zaid gugur dalam peperangan. Kepemimpinan pasukan pun dipegang Ja’far bin Abi Thalib. Namun, dia pun tewas. Kemudian, kepemimpinan digantikan Abdullah bin Rawahah. Sang pemimpin pun kembali tewas hingga akhirnya pasukan dipimpin Khalid bin Walid, sang pedang Allah. Dengan strategi baru Khalid dan pasukan Muslimin pun memenangkan pertempuran.