REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) Susi Susanti mengakui Indonesia sebenarnya tidak setuju terkait kebijakan The Badminton World Federation (BWF) yang menerapkan aturan agar atlet mengikuti setidaknya 12 turnamen per tahun. Seluruh negara Asia bahkan Eropa juga sebenarnya menentang rancana kebijakan tersebut.
Indonesia dan hampir seluruh negara sedang mendiskusikan hal ini untuk selanjutnya menyampaikan keberatan kepada ke BWF.
"Jadi bukan protes, tapi mungkin memberi masukan ke BWF kalau diforsir, atlet kan juga manusia," kata Susy kepada Republika.co.id, Selasa (13/2).
Susi menyatakan, ada denda bagi negara yang tidak mengikuti aturan itu. Tetapi Peraih The Badminton Hall of Fame 2004 itu menegaskan PBSI tidak akan memaksakan atlet kalau kondisi tidak memungkinkan. Atlet, menurutnya, juga dipersiapkan untuk jangka panjang. Sehingga bila penampilan diforsir, mereka rentan cedera.
Diperkirakan ada 15 hingga 16 kejuaraan, termasuk multievent, Commenwealth, Olimpiade, Piala Thomas Uber, dan lainnya dalam satu tahunnya. Susy berharap BWF nantinya mendengar masukan dari negara-negara yang komplain. Ia berharap kebijakan BWF lebih fleksibel, tak sekadar kepentingan sponsor, pendapatan, ataupun keramaian turnamen.
BWF mewajibkan para pemain tunggal yang ada di peringkat 15 besar dunia dan ganda di 10 besar dunia, untuk setidaknya mengikuti 12 turnamen BWF World Tour. Ke-12 turnamen itu terdiri dari tiga turnamen level 2, lima turnamen level 3, serta empat dari tujuh turnamen level 4.