Selasa 27 Feb 2018 11:05 WIB

Di Balik Larangan Memiliki Tujuan Positif dan Benar

Larangan ini apabila diikuti akan menjaga umat dari tergelincir.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam pembukaan kitabnya, Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at- Tirmizi (279), menegaskan satu poin penting. Bahwasa nya, semua larangan yang di berlakukan Rasulullah kepada umatnya memiliki tujuan positif dan benar.

Bila peringatan dan larangan itu diikuti maka yang bersangkut an akan tetap berada dalam kebenaran. Sebaliknya, bila dilanggar maka ia telah tergelincir dari hidayah-Nya.

Fakta bahwa hadis larangan memiliki motif dan tujuan ini tak terbantahkan. Hanya saja barangkali tidak kasat mata oleh kebanyakan orang. Kesimpulan itu sangat beralasan. Hal ini terlihat jelas pada upayanya menyibak tabir pada 170 hadis tentang etika hidup sehari-hari yang ia kutip dalam kitab al-Man hiy yat.

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarang nya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS al- Hasyr [59] : 7) 

Menurutnya, larangan-larangan yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya, memiliki tingkatan yang berbeda. Dalam pandangan sosok yang dibe sarkan oleh iklim intelek tualitas yang heterogen di Khurasan kala itu, larangan-larangan Rasulullah yang tersebar di berbagai riwayat dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama, yaitu larangan untuk alasan etika (nahy adab) dan larangan karena ada unsur haram (nahy tahrim). 

Yang dimaksud dengan nahy adab ialah perkara yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan. Tingkatan larangannya tidak terlalu kuat. Indikasinya bisa ditangkap dari teks itu sendiri. Misalnya saja larangan untuk bertanya tentang hal-hal yang rumit kepada Rasulullah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabi mu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (QS al-Maidah [6]: 101). 

Sedangkan pengertian nahy tahrim ialah larangan yang bersifat pasti dan mutlak. Sebagaimana kategori sebelumnya, larangan ini bisa diketahui dari teks. Misalnya larangan mengonsumsi bangkai, darah, dan daging babi. “Diharamkan bagimu (memakan) bang kai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul.” (QS al-Maidah [5] : 3). Nahy ter sebut bersifat mutlak, tidak bisa di tawar-tawar lagi. Siapa pun yang melanggarnya terancam siksa. Berbeda dengan nahy adab, mereka yang melakukannya tidak disiksa. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement