REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Larangan penggunaan cadar bagi mahasiswi yang diterapkan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menuai reaksi dari berbagai pihak. Pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM), Ali Muthohirin, menilai dalam pendekatan fiqih pemakaian cadar masih debatable. Sehingga setiap warga negara punya landasan dalam prakteknya.
"Ini menjadi kecerobohan kebijakan, bahkan menghadirkan tendisius yang luar biasa, karena ini bentuk pemaksaan pemahaman dalam praktek keyakinan," ujarnya ketika dihubungi Republika di Jakarta, Sabtu (10/3).
Menurutnya, pemakaian cadar merupakan hak pribadi, apalagi di dunia kampus yang seharusnya memberikan ruang pemahaman sepanjang masih dalam ruang lingkup intelektual. "Harusnya kampus menyediakan ruang diskusi kalau ada perbedaan pemahaman dalam praktek beragama bukan melarang bahkan mengancam mengeluarkan," ungkapnya.
"Kalau seandainya menurut kampus itu kurang tepat harus ada pembinaan karena setelah masuk kampus mahasiswa menjadi tanggungjawabnya," ucapnya menambahkan.
Ia menyebut, pelarangan ini bukan mencerminkan pendidikan kampus, lebih banyak faktor dari gaya berfikir para pemangku kebijakan di kampus. Dalam konteks ini kampus tidak lagi menjadi ruang diskusi tapi sudah menjadi otoriter.
"Memaksakan kehendak dan pikiran serta melanggar hak mahasiswa dalam praktek keyakinan. Kalau pelarangan ini ikuti dampaknya adalah akan menguatnya konflik pemahaman dan terkesan ada stigma negatif terhadap mahasiswi bercadar, mengurangi nilai kampus sebagai basis pendidikan yang menghadirkan kesejukan dan diskusi," ungkapnya.
Dalam kontek ini pemerintah harus segera mengganti rektor melalui Kemenag serta memberi batasan-batasan kebijakan dalam iklim kampus. Solusi atas kebijakan ini adalah kampus berkewajiban memberi pahaman yang baik kepada mahasiswa dan tak harus memberikan hukuman dengan mengeluarkan mahasiswa yang memakai cadar.
Sebelumnya, Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga, Sahiron Syamsuddin, mengungkapkan, pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis. Menurut dia, jika mahasiswinya tetap menggunakan cadar di dalam kelas, para dosen tentu tidak bisa membimbingnya dengan baik dan pendidiknya tidak dapat mengenali wajah mahasiswinya.
"Kalau di kelas mereka pakai cadar, kan dosen tidak bisa menilai apakah yang datang di kelas itu memang mahasiswa atau bukan," ujar Sahiron saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (6/3).
Sahiron menuturkan, pemakaian cadar bagi kaum wanita itu sebenarnya juga masih diperdebatkan di kalangan ulama, apakah itu merupakan ajaran Islam atau tradisi Arab. Namun, mahasiswi yang bercadar di kampus tersebut rata-rata tidak membaur dengan mahasiswa lainnya. "Mereka pada umumnya tidak membaur dengan mahasiswa-mahasiswa yang lain," ucap Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT) ini.
Dengan adanya pelarangan cadar ini, menurut Sahiron, rata-rata seluruh dosen UIN Suka setuju untuk diberlakukan. Jika mahasiswa tersebut tidak ingin dibina, mahasiswa tersebut akan diminta untuk pindah kampus. "Sebagian besar setuju (dosen UIN Sunan Kalijaga). Tapi, ya mungkin ada juga sedikit yang tidak setuju," kata Sahiron.