REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte akan menarik negaranya dari Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Pada Rabu (14/3), beberapa pejabat Filipina mengatakan keputusan tersebut diambil setelah Duterte menganggap ICC telah melakukan pelanggaran proses hukum.
Sejak 8 Februari lalu, ICC telah memulai penyelidikan pendahuluan terhadap tuduhan bahwa Duterte telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya dalam kampanye melawan narkoba. Tuduhan yang diajukan oleh seorang pengacara Filipina ini menyatakan, kampanye anti-narkoba Duterte telah membunuh ribuan orang.
Penyelidikan awal ICC terhadap tuduhan tersebut bertujuan untuk menentukan apakah kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Proses penyelidikan seperti itu biasanya akan memakan waktu bertahun-tahun.
Penarikan diri Filipina dari ICC telah dikonfirmasi oleh juru bicara kepresidenan Harry Roque dalam sebuah pesan teks kepada wartawan. Pemerintah Filipina telah menyiapkan dokumen setebal 15 halaman tertanggal 13 Maret, yang membuat penarikan itu akan segera berlaku.
Meski dokumen tersebut belum ditandatangani oleh Presiden Duterte, tetapi penasihat hukum kepresidenan Salvador Panelo membenarkan bahwa dokumen itu asli. "Penarikan diri dari Statuta Roma merupakan akibat dari serangan tak berdasar terhadap pribadi saya dan juga pemerintahan saya oleh pejabat PBB, serta upaya jaksa ICC untuk mencari yurisdiksi yang melanggar proses hukum dan praduga tak bersalah," ujar Duterte, dalam pernyataan di dokumen itu.
Jaksa ICC belum bisa dihubungi untuk memberikan komentar. Pertumpahan darah selama kampanye anti- narkoba Duterte, telah memicu kritik keras dari beberapa pejabat PBB dan aktivis hak asasi manusia. Namun Duterte enggan mengubah pendekatannya dan enggan menerima tuduhan bahwa dia telah memerintahkan polisi Filipina untuk mengeksekusi pengedar narkoba.
Polisi mengatakan mereka telah membunuh sekitar 4.100 pengedar narkoba dalam baku tembak selama kampanye resmi itu dilakukan. Namun, mereka mengaku tidak mengetahui orang-orang bersenjata tak dikenal yang telah membunuh 2.300 pengedar dan pengguna narkoba lainnya.
Duterte pada awalnya menantang ICC untuk mendakwanya. Ia mengatakan, dia bersedia membusuk di penjara untuk menyelamatkan rakyat Filipina dari narkoba, yang menurutnya bisa menghancurkan negaranya. Dia bahkan sesumbar akan lebih memilih eksekusi oleh regu penembak daripada menjalani hukuman penjara.
Namun, Duterte kemudian mengubah sikapnya dalam beberapa pekan terakhir. Ia mengatakan kepada pasukan keamanan Filipina untuk tidak bekerja sama jika ada penyelidikan internasional.
ICC hanya bisa melakukan intervensi terhadap negara penandatanganan Statuta Roma, jika negara tersebut tidak dapat atau tidak mau melakukan penyelidikan dan mengadili pelaku kejahatan. Menurut hukum internasional, Duterte dan Filipina berada di bawah yurisdiksi ICC dan penarikan mundur tidak akan mengubah yurisdiksi tersebut secara surut.