REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fauzul Iman
Gambaran hebat dan rendahnya manusia telah digambarkan dengan lugas oleh Tuhan dalam Alquran. Kecanggihan manusia digambarkan dalam Alquran sebagai jasad yang berkonstruksi tegak lurus (QS at-Tiin [95]: 4). Ia berbeda dengan makhluk apa pun di dunia, apalagi dilengkapi dengan perangkat ruh yang ditiupkan Tuhan kepadanya. Gambaran karakter manusia yang terkesan antagonis ini sengaja didesain Tuhan agar umat manusia menentukan pilihan mana yang produktif dan tidak dalam menjalani misi kehidupannya.
Bagi yang produktif dengan karya salehnya, ia tidak akan pernah terganggu menapaki ke segenap jejak kehidupannya. Apalagi, regukan keterampilan telah sedemikian rupa mengayomi percikan dan dinamika psikologisnya. Dalam kondisi ini manusia menjadi normal dan berimbang dalam menyikapi setiap lekuk dan beragam lecutan kompetisi kehidupan.
Sebaliknya, umat manusia yang niraktiva dan nirproduk selamanya akan terhantui kekidalan jalan hidup yang membuatnya terkungkung dalam ketidakberdayaan mempertahankan identitasnya di tengah kompetisi kehidupan. Ia mulai hilang dalam dirinya sikap percaya diri dan komptensi yang begitu mudahnya menyepelekan kelebihan orang lain.
Manusia sejenis ini sedikit pun tak menoleh untuk memartabati dan menghargai potensi yang terkandung dalam dirinya. Ia melimbungkan diri dengan segala kelemahan dan kepanikan. Lalu menatapi dan membayangi kelebihan orang lain sebagai harimau yang kapan saja bisa menerkamnya. Ia bagai sudah terjungkal dari tangga kehidupannya karena kesuksesan orang lain ditatap sebagai mesin pembunuh sadis, bukan mitra pembangkit kehidupannya.
Dalam kondisi tak berdaya ini manusia kemudian menjelma menjadi pribadi yang terbelah. Potensi diri dinihilkan dan dikontradisikan dengan pribadi orang lain yang sukses sebagai musuh berbahaya yang harus disingkirkan dengan aneka cara. Pribadi terbelah berprofesi sejak sebagai penyuka emosi dan caci hingga menjadi penebar kebencian dan kedengkian. Bahkan menjadi pekerja kekerasan yang berujung pada dua titik zero antara membunuh dirinya dan membunuh sesama anak Adam.
Tuhan menyeru umat manusa agar bekerja gigih (beriman dan beramal saleh) untuk meraih hidup yang produktif, profesional, dan kompetensional. Capaian ini diperlukan agar manusia mampu berdiri tegak dan mandiri mengatasi sebesar apa pun tantangan. Dengan begitu manusia sukses, seiring prestasi dan mental akhlak yang diraihnya ia tidak akan goyah untuk turut memperkeruh situasi lingkungannya berupa caci dan dengki, tetapi sebanyak mungkin ia akan membangun harmoni dengan memberikan sebesar-besarnya manfaat untuk lingkungannya.
Manusia bermanfaat adalah manusia yang berupaya menanamkan keharuman dan memberikan sesuatu yang dibutuhkan di tengah tengah masyarakat. Manusia bermanfaat bukanlah manusia penebar kebencian dan penyuka kedengkian yang membuat pribadinya menjadi bau bagai bangkai busuk.
Alquran dengan tegas menyindir betapa masih banyaknya umat manusia yang tak pernah berhenti mempermalukan dirinya untuk menjadi bangkai hidup. Mereka saling mencerca antarsesamanya. Bahkan tanpa kontrol mereka tega menebar aib dan mengungkapungkap kejelekan orang lain. Padahal, tanpa disadari yang bersangkutan sesungguhnya sedang memakan bangkai temannya sendiri (QS al-Hujurat [49]: 12). Dengan kata lain, mereka sendirilah sesungguhnya yang telah menjadi bangkai hidup yang amat busuk rasa baunya.
Akhir-akhir ini, tipe manusia bangkai busuk menyeruak di halaman kehidupan teknologi digital hampir tak dapat dibendung lagi. Fanomena menyebarkan hoaks yang memenuhi ruang media daring begitu mudahnya tanpa dikenalikan oleh nalar yang arif dan objektif. Ruang digital yang sejatinya menjadi misi jari-jemari guna kemaslahatan umat menjadi tidak manusiawi lagi karena nalar dan emosi manusia terseret dalam ruang artificial yang mencemaskan dan membahayakan kemanuisaan.
Oleh karena itu, di era disrupsi ini sudah saatnya umat manusia melakukan ulang relung (rekontemplasi) potensi dirinya seperti disebut Alquran sebagai manusia yang berkonstruksi tegak lurus.