REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdirinya Masjid Tua Palopo menandai pengaruh Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Masjid merupakan simbol kesucian di mana orang-orang Muslim melakukan kontak langsung dengan Tuhan.
Oleh karena itu, seluruh nilai-nilai luhur dalam kebudayaan diejawantahkan dalam bentuk fisik dan aktivitas keagamaan. Mengenai manifestasi nilai luhur ke dalam bentuk fisik dapat dilihat pada arsitektur masjid. Sedangkan, aktivitas keagamaannya berbentuk ritual-ritual dan acara-acara keagamaan.
Sebelum Islam datang ke Sulawesi Selatan, pusat kesucian tidak terletak di masjid, tetapi pada tokoh-tokoh populer dalam cerita rakyat masyarakat setempat. Periode terpenting dalam sejarah daerah Sulawesi Selatan dimulai pada abad ke-14 dengan terbentuknya pemerintah Kerajaan Luwu, yang sebelumnya bernama Kerajaan Ussu'. Dinasti yang berkuasa pada Kerajaan Luwu adalah Tomanurung Simpuru Siang. Permaisurinya bernama Patiangjala. Pada masa itu, rakyat Kerajaan Luwu memercayai bahwa rajanya merupakan keturunan dari wangsa legendaris bernama Sawerigading.
Epos I La Galigo banyak mengungkap kisah tentang Kerajaan Luwu sebelum adad ke-14. Diceritakan, dalam epos ini bahwa awal mula terbentuknya Kerajaan Luwu sejak kedatangan Batara Guru sampai kepada cicitnya, I La Galigo. Yang paling populer dari wangsa ini ialah Sawerigading, ayah I La Galigo. Sosok Sawerigading ini sangat suka mengembara, memperkenalkan Kerajaan Luwu ke negeri-negeri lain di Sulawesi dan di negeri seberang. Pemujaan terhadap tokoh-tokoh itu terbentuk berkat keyakinan masyarakat pada adanya garis keturunan para raja dengan Batara Guru. Kedatangan Islam tidak menghapuskan keyakinan itu, tetapi mengalihkan pemujaan kepada Allah SWT melalui ritual-ritual di masjid.
Yang menarik disimak di sini adalah kebiasaaan mengembara Sawerigading. Kebiasaan mengembara ini terus berlangsung pada abad-abad setelahnya, hingga muncul sebuah adagium Takunjungabangun turuk nakuguncirik gulingku kualleyanna tallanga natoalia (Sekali layar terkembang, pantang surut berbalik). Dari kebiasaan inilah pertelingkahan budaya antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan budaya luar terjadi secara intensif. Masjid Tua Palopo menjadi salah satu bukti sejarah masuknya unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan mereka.
Pembangunan Masjid Tua Palopo diawali dengan perpindahan Ibu Kota Kerajaan Luwu dari Patimang ke Palopo pada 1604 M. Masjid yang berdiri di atas lahan seluas 1.680 m2 ini menandai kompleks ibu kota kerajaan yang baru itu bernuansa Islam. Area Masjid Tua Palopo, istana kerajaan, dan area publik saling terkait membentuk kesatuan area yang tak terpisahkan. Konsep yang demikian banyak didapati pada konsep alun-alun di Jawa, misalnya, Alun-alun Utara Yogyakarta.
Masjid sebagai tempat kegiatan keagamaan, istana sebagai simbol kekuasaan politik, dan ruang publik sebagai pusat kegiatan ekonomi, merupakan kesatuan dalam aktivitas umat manusia. Pada setiap kegiatan itu, kesucian yang bersumber dari agama Islam harus merasuk hingga menjadi roh dan barometer baik atau buruknya suatu pekerjaan. Dengan pembentukan ruang yang demikian, Islam menempati posisi sangat sentral bagi pemeluknya, terutama yang menerapkan konsep tata ruang seperti alun-alun tersebut. Masjid Tua Palopo adalah salah satu dari sekian banyak masjid bersejarah di Nusantara yang menerapkannya.