Selasa 03 Apr 2018 00:03 WIB

Presiden Sisi Raup 97 Persen Suara dalam Pemilu Mesir

Pemilu Mesir banyak mendapat kritik karena tanpa oposisi yang kredibel.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Foto: Reuters/Mohamed Nureldin Abdallah
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi memenangkan 97 persen suara dalam perhitungan hasil akhir pemungutan suara pemilu. Hasil yang tidak mengejutkan bagi rakyat Mesir dan seluruh dunia ini mengamankan masa jabatan Sisi sebagai presiden selama empat tahun lagi.

Pemilu Mesir banyak mendapat kritikan karena dianggap sebagai 'one man show' tanpa adanya oposisi yang kredibel. Enam kandidat kuat yang siap bersaing dengan Sisi sebelumnya telah dipaksa mengundurkan diri, diadili, atau dipenjara.

Hasil pemilu diumumkan pada Senin (2/4) oleh komisi pemilihan Mesir. Tercatat hanya 41,5 persen pemilih yang ikut berpartisipasi dalam pemilu kali ini. Angka tersebut lebih rendah dari pemilu 2014 lalu sebesar 47 persen.

Satu-satunya lawan Sisi dalam pemilu ini adalah Mousa Mostafa Mousa, seorang politikus yang kurang terkenal di Mesir. Mousa menjadi kandidat presiden beberapa jam sebelum batas waktu pencalonan habis. Ia sebelumnya mendukung penuh pencalonan Sisi.

Hasil awal pemungutan suara yang dirilis pada Kamis (29/3) menunjukkan Mousa hanya mendapatkan tiga persen suara. Menurut The Economist, Mousa berada di posisi ketiga setelah lebih dari satu juta warga Mesir justru merusak kertas suara mereka di bilik suara.

Beberapa orang mencorat-coret nama kedua kandidat. Mereka menambahkan nama pemain sepakbola populer Liverpool yang juga pemain nasional Mesir, yaitu Mohamed Salah, di dalam kertas suara. Salah bahkan dilaporkan mendapatkan suara dua kali lebih banyak dari Mousa.

Namun laporan ini direvisi keesokan harinya untuk menunjukkan tidak ada surat suara yang dirusak. "Pemilihan ini adalah sebuah lelucon dan rekayasa. Pemilihan ini tidak benar-benar menjadi penanda yang berarti bagi negara," kata Sarah Yerkes dari Carnegie Endowment for International Peace yang berbasis di Washington, kepada Aljazirah.

Krisis ekonomi di Mesir akan menjadi prioritas Sisi selama masa jabatan keduanya. Risiko kegagalannya bisa menjerumuskan penduduk ke dalam kesengsaraan lebih lanjut.

James Gelvin, profesor Sejarah Modern Timur Tengah di UCLA mengutip sejumlah faktor yang saat ini melanda perekonomian Mesir. Menurutnya, perekonomian akan bertambah buruk, seperti tingkat pengangguran yang tinggi, pembatasan makanan dan bahan bakar, ketidaksetaraan pendapatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan aturan plutokratis.

"Ketika [mantan presiden] Sadat dan Mubarak berusaha memaksakan kebijakan neoliberal, pemberontakan rakyat terjadi. Dalam situasi seperti ini, Sisi tidak diragukan lagi akan melanjutkan represi yang keras, yang mungkin mengutip ancaman terorisme sebagai alasannya," ujar Gelvin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement