Sejak 2020, Abdul Latif (36) bertani di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Awalnya, ia mencari pemasukan tambahan setelah bisnis pakaiannya terdampak pandemi COVID-19. Ia memilih hidroponik, metode tanam berbasis air yang mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan hasil panen dibanding cara konvensional.
Lambat laun, Latif menyadari bahwa metode hidroponik hanya berfokus pada produksi, tanpa memerhatikan kesuburan tanah. Refleksi ini muncul saat ia mengajar kelas berkebun untuk anak-anak PAUD. Kepada muridnya, ia sering mengatakan bahwa bertani adalah bentuk kasih sayang pada Bumi.
"Sayangi Bumi praktiknya mungkin bertanam segala macam gitu kan, tapi kalau kita fokus ke tanamannya (seperti hidroponik), tanah kita terabaikan,” ujarnya. Namun, ia merasa belum benar-benar berkontribusi untuk tujuan tersebut.
Dengan lahan 17 x 5 meter, Latif pun beralih ke metode organik demi komitmen menyuburkan tanah. Pilihan ini sejalan dengan temuan IPB University (2025) bahwa 82% tanah di Indonesia berproduktivitas rendah.
Latif percaya bahwa menjaga tanah tetap subur merupakan upaya membantu alam dalam mengembalikan keseimbangannya. "Sebenarnya alam itu bisa melakukan tanpa manusia, cuma manusia ini kan mengubah semua yang sudah berjalan. Ketika sesuatu terjadi pada alam, itu karena kita. Makanya, berbuatlah sekecil mungkin untuk mengembalikan itu,” katanya.
Tantangan di kebun sempit
Sebagai petani urban organik, Latif menghadapi tantangan khas: lahan terbatas dan proses produksi yang lebih lambat sehingga hasil panen pun lebih sedikit dibandingkan hidroponik.
Untuk menyiasatinya, ia merotasi jenis tanaman agar panen bisa berlangsung bergantian. Ada yang siap dipetik dalam hitungan minggu, ada juga yang baru panen setelah beberapa bulan. Kini, ia menanam kangkung (23-25 hari), sawi (40-70 hari), jagung (60-65 hari), dan timun (35 hari). Cara ini membuat lahan kecilnya tetap produktif dan biaya operasional bisa terus berputar.
Latif juga menekan biaya dengan meninggalkan nutrisi pabrikan. Menurutnya, kembali ke alam memang butuh waktu lebih lama, tapi justru membuat biaya produksi lebih ringan tanpa menurunkan kualitas.
Kolektif pangan yang menguatkan
Di tengah keterbatasan, hadir kolektif pangan Selarasa yang juga berbasis di Jagakarsa. Lewat inisiatif Majelis Sayur, Selarasa membuka ruang bagi petani lokal untuk berbagi keresahan dan pengetahuan.
"Harapannya adalah bahwa teman-teman petani itu punya ruang untuk menyampaikan keresahannya ke sesama petani. Secara ruang, secara cuaca, secara iklim, itu pasti menghadapi tantangan yang serupa, tapi tak sama,” tutur Juli, salah satu inisiator Selarasa.
Hubungan antara Selarasa dan Latif pun berkembang, tak lagi sekadar memberi dan menerima bantuan, melainkan menjadi proses saling belajar. Juli mengakui, pihaknya justru banyak mendapat wawasan baru dari para petani. "Jadi yang awalnya berpikir Selarasa tahu banyak mengenai konteks pangan, malah jadi kita yang belajar sama teman-teman petani di Jagakarsa,” katanya.
Editor: Hani Anggraini