REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di negara-negara Barat, khitan atau sunat pada bayi telah menjadi bahan diskusi pada beberapa dekade terakhir. Dalam laporan tahunan yang dirilis Asosiasi Dokter Amerika (AMA) tahun 1999 disebutkan bahwa perhimpunan kesehatan di Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, serta negara-negara di Eropa sangat tidak merekomendasikan khitan pada bayi laki-laki.
Menurut laporan AMA tersebut, orang tua di AS memilih untuk melakukan khitan pada anaknya terutama disebabkan alasan sosial atau budaya dibandingkan karena alasan kesehatan. Akan tetapi, survei yang dilakukan oleh Center for Interdisciplinary Research on Complex Systems (CIRCS) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 23,5 persen orang tua di AS melakukan khitan pada anaknya dengan alasan kesehatan.
Dalam tulisannya yang bertajuk Benefits of Newborn Circumcision: is Europe Ignoring Medical Evidence? Edgar J Schoen mengungkapkan, para ahli di negara-negara Barat berargumen bahwa khitan bermanfaat bagi kesehatan. Namun, menurut mereka, hal ini hanya berlaku jika pasien terbukti secara klinis mengidap penyakit yang berhubungan dengan alat kelamin.
Beberapa penyakit yang kemungkinan besar memerlukan khitan untuk mempercepat penyembuhan, menurut para ahli ini seperti pendarahan dan kanker penis, kedua hal ini jarang terjadi. Penyakit fimosis juga bisa diatasi dengan sunat walaupun sekarang telah berkembang teknik penyembuhan dengan cara yang lainnya.
Pentingnya khitan bagi kesehatan pun mendapat pengakuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan program AIDS PBB sejak 2007 lalu. Dalam pengumuman resmi yang dikeluarkan kedua lembaga ini disebutkan bahwa khitan bagi kaum laki-laki secara signifikan bisa melindungi kaum pria heteroseks dari bahaya HIV.
Seperti dilansir BBC edisi 28 Maret 2007, baik WHO maupun program AIDS PBB mengatakan program pengkhitanan bisa menyelamatkan tiga juta jiwa dalam waktu 20 tahun ke depan. Karena itu, sejak tahun 2007 pengkhitanan menjadi bagian penting dari sejumlah program PBB dalam memerangi HIV.
Langkah WHO dan program AIDS PBB ini sejalan dengan hasil temuan para pakar kesehatan di negara-negara Barat. Para pakar ini melakukan sebuah penelitian di tahun 2006 lalu dan menemukan fakta bahwa seorang pria yang dikhitan, bisa mengurangi risiko HIV melalui penularan seksual heteroseks, sebesar 60 persen.
Karena itu, mereka merekomendasikan khitan bisa bermanfaat sekali di negara-negara yang tingkat HIV-nya tinggi dan kaum laki-lakinya tidak disunat. Hasil penelitian tersebut pernah dimuat dalam jurnal Pediatrics terbitan November 2006.