REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) menilai setelah serangan rudal AS, Inggris dan Prancis ke Suriah menunjukkan bahwa itu hanya berdampak sedikit terhadap kemampuan Presiden Bashar al-Assad dalam melakukan serangan senjata kimia. Penilaian tersebut diungkapkan oleh empat pejabat AS.
Kesimpulannya kontras dengan pernyataan pemerintah Trump bahwa serangan pada hari Sabtu (14/4) itu mencapai inti program senjata kimia Assad. Bahasa yang menunjukkan bahwa kemampuan Assad untuk melakukan lebih banyak serangan telah ditangani dengan pukulan yang menghancurkan.
AS, Prancis, dan Inggris menghancurkan tiga target yang terkait dengan program senjata Suriah. Yang paling penting dari ketiga target tersebut adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Barzah. Intelijen AS menyimpulkan terlibat dalam produksi dan pengujian teknologi perang kimia dan biologi di pusat tersebut.
Namun para pejabat AS yang berbicara dengan syarat anonim itu mengaku bahwa mereka mengatakannya dari informasi intelijen yang didapatkan. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa persediaan bahan kimia dan perintisnya milik Assad diyakini tersebar jauh di luar tiga sasaran itu.
Beberapa dari itu, AS dan intelijen sekutu menunjukkan, bahan kimia itu disimpan di sekolah-sekolah dan gedung apartemen sipil. Salah satu pejabat menyebutnya sebagai 'perisai manusia.'
Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengakubahwa salah satu prioritas utamanya dalam merancang operasi adalah meminimalkan korban jiwa dari warga sipil. Hal itu dia ungkapkan dalam sambutannya kepada Kongres sebelum dilancarkannya serangan tersebut.
Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih ditanyatentang pernyataan bahwa serangan itu hanya berdampak terbatas. Dia mengatakan tujuan operasi militer itu adalah meminta pertanggungjawaban pemerintah Suriah. Yaitu dengan menurunkan kemampuannya dan mencegahnya dari serangan kimia di masa depan - sementara meminimalkan korban sipil.
Seorang juru bicara Pentagon tersebut merujuk pada peringatan Mattis kepada Assad dan pasukannya. Mattis mempertimbangkan mereka untuk tidak melakukan serangan senjata kimia lain yang akan mereka pertanggungjawabkan.
Para pejabat AS mengatakan penilaiannya adalah bahwa serangan, terutama pada Barzah, menurunkan kemampuan senjata kimia Suriah. Namun penilaian juga menunjukkan bahwa sejumlah besar senjata kimia disimpan di tempat lain. Dikatakan pula oleh pejabat lain bahwa program senjata kimia Suriah, yang masih mentah itu sama baiknya seperti yang dibutuhkan untuk tujuan Assad.
Misalnya klorin, seperti kata para ahli, adalah bahan kimia industri umum yang tidak sulit ditemukan. AS menuduh rezim Suriah menggunakan zat tersebut untuk melakukan serangan senjata kimia pada 7 April. Melumpuhkan kemampuan klorin melalui serangan militer jauh lebih sulit daripada, katakanlah, agen senjata kimia atau biologi yang lebih canggih.
Suriah dan Rusia membantah melepaskan gas beracun pada 7 April selama serangan mereka terhadap Douma. Serangan yang diduga gas beracun itu berakhir dengan merebut kembali kota yang telah menjadi kubu pemberontak terakhir di dekat ibu kota, Damaskus. Serangan yang dicurigai sebagai senjata kimia itu memicu tanggapan AS.
Berangkat dari foto-foto korban sipil yang diduga terpapar racun, Presiden AS Donald Trump meyakini perlunya tanggapan yang 'berotot' terhadap Suriah. Dia bahkan juga menyebut sekutu Assad, Moskow dan Teheran dalam retorika berapi-api itu. Sehingga membuka kemungkinan bahwa mereka juga akan diserang.
Namunpara pejabat AS yang akrab dengan perencanaan militer AS mengatakan Rusia dan Iran tidak pernah secara serius dianggap sebagai sasaran. Selain bekerja untuk menghindari korban sipil, Mattis dan pejabat AS lainnya menyesuaikan serangan dengan cara menghindari pemicu balas dendam dari Moskow dan Teheran.
Sehingga, hasil akhirnya adalah operasi yang tidak menargetkan infrastruktur militer konvensional Assad, termasuk pesawat yang dapat mengirim agen kimia di masa depan.