REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diplomat senior Makarim Wibisono menilai kewibawaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) berkurang karena badan tersebut semakin menjauhi mandat utamanya sebagai pemelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Pernyataan Makarim didasarkan pada fakta bahwa DK PBB tidak melakukan upaya responsif untuk menyelesaikan konflik Suriah yang menewaskan 500 ribu orang, konflik Rohingya di Myanmar yang memaksa 700 ribu orang mengungsi dari Rakhine State, maupun konflik Palestina yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun.
"Padahal di DK PBB ada Komite Staf Militer dan negara penyumbang pasukan perdamaian yang isinya para jenderal dan ahli strategi. Tetapi DK PBB tidak bekerja sesuai mandatnya," ujar Makarim dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (23/4).
Mantan Duta Besar RI untuk PBB itu juga menyoroti pergeseran peran DK PBB yang kini juga mengurusi isu-isu keamanan nontradisional seperti perubahan iklim, pandemi penyakit, energi, dan kejahatan lintas batas, sementara DK PBB tidak memiliki ahli-ahli untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut.
"Saat kewibawaan menurun, tetap ada kecenderungan mereka tidak mau dipojokkan sehingga DK PBB malah mencari isu-isu kecil dalam keamanan nontradisional," kata Makarim.
Karena itu, ia sangat mendukung ide reformasi DK PBB yang pembahasannya disponsori Indonesia bersama 13 negara lain pada Sidang Majelis Umum PBB ke-72 di New York, September lalu. Menurutnya, sebuah reformasi struktural diperlukan DK PBB jika ingin menangani isu-isu yang juga menyentuh aspek ekonomi, budaya, maupun pembangunan berkelanjutan.
"Dalam upaya reformasi ini, DK PBB harus bisa mengatasi akar penyebab konflik yang terkait dnegan konsep pencegahan konflik," dia menambahkan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun lalu menyatakan bahwa reformasi soal efisiensi perlu dilakukan karena PBB dianggap terlalu lambat dan tidak cukup tanggap dalam menghadapi perubahan dunia. Dengan mengatasi masalah efisiensi, diharapkan PBB bisa dengan cepat merespons situasi dunia yang dinamis.
Menanggapi usulan yang diusung 128 negara anggota PBB, Sekjen PBB Antonio Guterres menggarisbawahi reformasi di sistem pembangunan PBB agar lebih terkoordinasi, fokus ke masyarakat, dan lebih akuntabel sehingga dapat lebih baik membantu negara-negara di dunia, serta sejalan dengan 17 prioritas Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
"Tujuan bersama kita adalah PBB abad ke-21 yang lebih fokus ke masyarakat dan lebih sedikit proses, namun lebih banyak hasil serta berkurangnya birokrasi," kata Guterres.