REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Qifthi pun memiliki berlimpah informasi mengenai tradisi keilmuan yang berkembang sebelum atau pada zamannya. George A Makdisi dalam bukunya Cita Humanisme Islam, cukup banyak mengutip al-Qifthi dalam menjelaskan hal tersebut.
Misalnya, tentang lembaga pendidikan dasar, kelompok-kelompok kajian ilmu, hingga penyalinan buku. Al-Qifthi mengisahkan sahabatnya, Yaqut, yang merupakan alumnus sebuah lembaga pendidikan dasar atau maktab yang kemudian menjadi ilmuwan terkenal.
Menurut dia, sahabatnya itu sebelumnya adalah seorang budak Yunani yang dikirimkan oleh tuannya, seorang saudagar buta huruf, ke sebuah maktab untuk belajar menulis dan berhitung. Kemudian, ia bekerja pada tuannya sebagai pedagang dan penjual buku.
Setelah tuannya meninggal, Yaqut bekerja mandiri. Ia pun melanjutkan studinya di bawah seorang guru terkenal, Wajih al-Din al-Wasithi. Al-Qifthi mengungkapkan, pernah mendapatkan surat dari sahabatnya itu. Isi suratnya menunjukkan sahabatnya sangat andal dalam menulis.
Al-Qifthi yang dikenal pula sebagai budayawan, mengisahkan pengalaman-pengalamannya tentang berbagai kelompok kajian ilmu. Selain rumah dan tempat terbuka, ujar dia, toko buku juga sering digunakan sebagai pusat kegiatan ilmiah atau kelompok kajian ilmu.
Menurut Makdisi, al-Qifthi menceritakan seorang sastrawan yang juga penjual buku, yaitu Abdullah al-Azdi. Toko buku al-Azdi yang ada di Baghdad, dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan oleh para sastrawan.
Di sana, perdebatan dan diskusi dilakukan lebih sering dibandingkan kelompok kajian ilmu lainnya. Al-Azdi yang juga merupakan kaligrafer, telah menyalin banyak karya sastra. Al-Qifthi bahkan memperoleh beberapa salinannya sebagai koleksi perpustakaannya, khususnya karya Abu Ubayd.
Karya tersebut berjudul Kitab al-Amtsal atau buku peribahasa. Al-Qifthi berkomentar, buku itu merupakan hasil suntingan terbaik yang pernah ia lihat. Menurut dia, para sejarawan bersaing untuk mendapatkan naskah yang disalin al-Azdi itu.
Selain itu, al-Qifthi memberikan informasi berguna terutama tentang metode penyalinan buku. Saat itu, belum berkembang teknologi percetakan sehingga jika sebuah buku disalin, akan melibatkan sejumlah orang dalam upaya tersebut.
Mereka adalah penulis buku, penyalin, dan orang yang mendengarkan dan menyaksikan pembacaan buku yang dilakukan penulis buku agar ditulis oleh para penyalin. Buku yang ada keterangan penulis, siapa yang menyalin, mendengarkan, dan menyaksikan penyalinan, dianggap asli.
Istilahnya adalah sertifikasi audisi sebuah buku. Dalam sebuah karya biografinya, al-Qifthi membahas penyalinan buku karya al-Qali, yang meninggal pada 967 Masehi, berjudul al-Maqshur wa al-Mamdud. Ini merupakan karya leksikografi tentang kata-kata yang ditulis dengan alif panjang atau pendek.
Al-Qifthi menceritakan, dalam buku al-Qali tertulis, sertifikasi audisi dalam buku itu ditulis oleh al-Qali, yang melibatkan Muhammad ibnu Ibrahim ibn Muawiyah al-Qurasyi, Muhammad ibn Abad ibn Sayyid, Abd al-Wahhab ibn Asbagh, dan Muhammad ibn Hasan al-Zabidi.
Menurut dia, al-Qali menyatakan semoga Allah SWT memberkati mereka yang telah membaca seluruh karya al-Maqshur wa al-Mamdud. Mereka membantu untuk menyalinnya, mencatatnya dari kertas-kertas yang berisi catatan-catatan penelitian, dan melengkapinya dengan salinan mereka.
Kebanyakan catatan untuk buku tersebut telah disesuaikan dengan catatan al-Qurasyi, sedangkan buku ini merupakan hasil salinan tangan Abd al-Wahhab ibn Asbagh. Al-Qifthi mengatakan, karya ini didengarkan semua orang yang memerhatikan bacaan al-Qurasyi di bawah pengawasan al-Qali. Al-Qifthi juga menulis sejumlah karya lainnya, yaitu Annals of Grammarians, History of the Yemen, dan Discourse on Sahih al-Bukhari.