REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Total subsidi energi dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) sebesar Rp 323 triliun. Angka itu lebih rendah 66 persen dari 3 tahun sebelumnya yang sebesar Rp 958 triliun (2012-2014).
Sebaliknya anggaran untuk infrastruktur, pendidikan dan kesehatan meningkat sangat signifikan. Sejak 2015 angkanya selalu di atas Rp 700 triliun. Bahkan pada 2018 ini dialokasikan sebesar Rp 965 triliun.
"APBN harus dijaga, subsidi energi dibuat makin tepat sasaran, sehingga belanja yang lebih produktif seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan bisa punya porsi yang jauh lebih besar," ujar Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (7/5).
Subsidi energi terdiri dari subsidi BBM, LPG dan listrik. Sejak tahun 2015, jenis BBM yang disubsidi hanya solar dan minyak tanah, sementara premium tidak lagi disubsidi APBN.
Meski demikian, harga BBM jenis premium (Jenis BBM Khusus Penugasan) dan solar tidak pernah mengalami kenaikan sejak April 2015. Saat itu harga premium sebesar Rp 7.300 dan solar Rp 6.900 per liter.
BBM Premium per 5 Januari 2016 bahkan harganya turun dari Rp 7.300 menjadi Rp 6.950 per liternya. Lalu pada 1 April 2016 turun lagi menjadi Rp 6.450 per liter yang berlaku hingga dan hingga 2019 juga dipastikan tidak naik.
Demikian halnya dengan BBM jenis Solar per 10 Oktober 2015 harganya justru turun dari Rp 6.900 menjadi 6.700 per liternya. Lalu per 5 Januari 2016 juga turun menjadi Rp 5.650 per liter dan 1 April 2016 turun lagi menjadi Rp 5.150 per liter dan tetap sampai hari ini. Hingga 2019 Solar juga tidak ada kenaikan. Sedangkan untuk minyak tanah tidak pernah ada ke kenaikan sejak tahun 2008.
"Sudah 3 tahun bahkan lebih, tidak ada kenaikan BBM Premium, Solar dan Minyak Tanah. Hingga tahun 2019 juga tidak akan naik, tarif listrik juga tidak naik. Itu dalam rangka meningkatkan kestabilan ekonomi dan sosial masyarakat serta mempertahankan daya beli masyarakat," tambah Agung.