Senin 11 Jun 2018 11:41 WIB

23 Organisasi Rohingya Kritik Kesepakatan PBB-Myanmar

Kesepakatan repatriasi dinilai tidak mengatasi akar penyebab krisis Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Suasana perumahan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Suasana perumahan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sebanyak 23 organisasi Rohingya di seluruh dunia, termasuk Dewan Rohingya Eropa dan Organisasi Nasional Rohingya Arakan, mengkritik kesepakatan repatriasi yang telah dicapai PBB dan Myanmar. Menurut mereka, kesepakatan tersebut belum menyentuh akar permasalahan dari krisis Rohingya.

"Kami sangat prihatin bahwa nota kesepahaman (MoU) tidak mengatasi akar penyebab krisis Rohingya, khususnya masalah kewarganegaraan dan identitas etnis Rohingya," kata 23 organisasi Rohingya dalam sebuah pernyataan bersama pada Ahad (10/6), dikutip laman Anadolu.

Organisasi-organisasi Rohingya pun menyayangkan atas tidak dilibatkannya perwakilan pengungsi dalam penandatanganan nota kesepahaman. Padahal, mereka berhak mengetahui isi kesepakatan tersebut. "Teks-teks MoU belum dibuat (secara) publik, meninggalkan komunitas internasional dalam gelap yang menimbulkan pertanyaan," kata 23 organisasi Rohingya dalam pernyataannya.

Hal itu juga dinilai menimbulkan kecemasan di kalangan pengungsi. Sebab, sebagian besar dari mereka enggan direpatriasi karena meyakini otoritas berwenang Myanmar terlibat dalam genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. "Mereka tidak bisa mempercayai pemerintah dan militer Myanmar yang telah membunuh, memperkosa, dan membuat mereka kelaparan dengan ratusan mereka diratakan, tanah mereka diambil, serta rumah-rumahnya dilibas," ujar 23 organisasi Rohingya.

Pada 6 Juni lalu, Pemerintah Myanmar menandatangani perjanjian dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Badan Pengungsi PBB (UNHCR). Dalam perjanjian tersebut, UNDP dan UNHCR dilaporkan akan dimungkinkan terlibat dalam proses repatriasi Rohingya yang sangat tertunda.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di Negara Bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu. Operasi digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun, dalam pelaksanaannya, pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.

PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Namun, pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement