REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Melihat catatan pemungutan suara Mongolia terhadap Israel di PBB selama beberapa bulan terakhir menunjukkan pola yang menarik. Negara yang terkunci di tanah yang terjepit di antara Rusia dan Cina itu tidak seperti dua tetangga raksasanya yang secara refleks memberikan suara menentang Israel di PBB.
Mongolia terpantau juga tidak memilih Israel atau abstain. Mongolia bahkan tidak muncul untuk memilih.
Mongolia, sebuah negara berpenduduk lebih dari tiga juta orang, tidak ada di dalam ruangan ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi anti-Israel di Gaza pekan lalu. Negara itu juga tidak hadir pada bulan Mei ketika Komite Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa memutuskan untuk membentuk komite investigasi terhadap dugaan kekerasan di perbatasan Gaza.
Negeri Mongol itu pun tidak hadir pada bulan Desember ketika Majelis Umum mengutuk Amerika Serikat untuk memindahkan ibu kotanya ke Yerusalem.
Hagai Shagrir, wakil kepala departemen Asia-Pasifik Kementerian Luar Negeri Israel, mengatakan jika ketidakmunculan Mongolia terjadi hanya sekali maka itu bisa dihubungkan dengan utusan Mongolia ke PBB yang terkendala lalu lintas. Alasan yang sama bisa dipakai kalau itu terjadi hanya sampai dua kali.
Ketika Mongolia berkali-kali melewatkan sidang PBB maka itu mengungkapkan sebuah pola yang tampaknya lahir dari keputusan yang sadar. Israel memandang ini sebagai manifestasi hubungan yang menghangat antara Israel dan Mongolia.
Shagrir mengatakan Israel sangat menghargai pola ini. Dia mengatakan bahwa Israel bekerja keras untuk mengubah pola pemungutan suara di Asia.
"Mongolia adalah negara yang sangat ramah, berpikiran sama, negara demokratis yang penting bagi Israel untuk memperkuat hubungan," katanya, dikutip Jerusalem Post, Selasa (19/6).
Shagrir mengatakan hubungan persahabatan ini akan menampakkan diri dalam waktu dua pekan ketika kedua negara mengadakan dialog diplomatik. Israel tidak memiliki kedutaan besar di Mongolia, juga tidak ada kedutaan Mongolia di Israel.
Kepentingan Israel di negara itu hanya diwakili oleh duta besar Israel di Cina, yang melakukan perjalanan ke Mongolia tiga kali setahun. Menteri luar negeri Mongolia mengunjungi Israel pada Agustus lalu. Sedangkan Kepala Staf Kepresidenan Mongolia Z Enkhbold menghadiri konferensi kebijakan tahunan Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC) di Washington pada Maret.
Selain itu, Presiden Mongolia Khaltmaa Battulga menulis surat kepada Presiden Israel Reuven Rivlin pada peringatan ulang tahun ke-70 Israel awal tahun ini. Dia menyampaikan "ucapan selamat yang tulus pada peristiwa bersejarah".
"Mongolia dan Israel adalah negara-negara dengan sejarah dan budaya kuno. Saya senang untuk mencatat bahwa, saat ini, kerja sama antara kedua negara dan hubungan erat antara dua orang kami sedang berkembang," tulisnya.
Shagrir mengatakan bahwa kepentingan Mongolia dalam hubungan yang lebih kuat dengan Israel bukan bagian dari upaya untuk mendekatkan diri ke Amerika Serikat. Kepentingan Mongolia dalam hubungan dengan Israel diyakini didasarkan pada tiga pilar.
Sebagaimana tercermin dalam surat Battulga, pertama, ada rasa hormat yang mendalam di Mongolia untuk sebuah peradaban yang telah mempertahankan tradisinya selama ribuan tahun. Kedua, orang-orang Mongolia memiliki masalah keamanan perbatasan, terutama di perbatasan Cina, dan tertarik untuk belajar dari keahlian Israel tentang masalah keamanan perbatasan.
Ketiga, mantan menteri luar negeri AS John Kerry pernah menyebut Mongolia sebagai "oasis demokrasi" di lingkungan yang sangat sulit dan orang-orang Mongolia berupaya untuk belajar dari pengalaman Israel, yang mereka akui adalah sebuah negara yang sangat mirip yang mengalami keadaan sulit.