Rabu 27 Jun 2018 12:40 WIB

Myanmar Tolak Reformasi Kewarganegaraan Rohingya

Win Myat Aye klaim Myanmar telah mulai menerapkan 80 dari 88 rekomendasi

Rep: Marniati/ Red: Bilal Ramadhan
 Pria muslim Rohingya menangis ketika dipaksa untuk naik kapal untuk dikembalikan ke Myanmar dekat pos penjaga perbatasan di Taknaf,Bangladesh,Jumat (22/6).  (Saurabh Das/AP)
Pria muslim Rohingya menangis ketika dipaksa untuk naik kapal untuk dikembalikan ke Myanmar dekat pos penjaga perbatasan di Taknaf,Bangladesh,Jumat (22/6). (Saurabh Das/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Seorang pejabat senior Myanmar mengatakan   proposal untuk meninjau undang-undang kewarganegaraan Rohingya tidak dapat diimplementasikan. Ini disampaikannya kepada para diplomat Barat saat pertemuan di Denmark awal bulan ini.

Pada pertemuan di Kopenhagen pada 8 Juni, Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Win Myat Aye mengatakan kepada sekelompok diplomat, analis dan anggota komisi yang dipimpin oleh Kofi Annan bahwa delapan dari rekomendasi yang diajukan tidak dapat segera dipenuhi. Salah satu rekomendasi itu meminta pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah mengubah undang-undang 1982.

"Dia membuatnya sangat jelas bahwa reformasi kewarganegaraan tidak dapat dimulai," kata seorang narasumber di pertemuan itu.

Dalam pertemuan itu, Win Myat Aye mengatakan Myanmar telah mulai menerapkan 80 dari 88 rekomendasi yang dibuat oleh komisi. Sisanya dinilai sulit untuk diimplementasikan.

Menurutnya, saat ini Myanmar sedang berjuang untuk melaksanakan rekomendasi yang diusulkan. Ini termasuk komitmen untuk membuat badan independen dalam meninjau keluhan tentang verifikasi kewarganegaraan, memberdayakan pemimpin masyarakat dan masyarakat sipil, sera membangun mekanisme untuk umpan balik tentang kinerja pemerintah.

"Dalam bahasa diplomatik ketika Anda mengatakan bahwa sesuatu itu sulit, itu cenderung menjadi penolakan. Begitulah cara saya memahami ini," kata narasumber berikutnya.

Win Myat Aye dan juru bicara pemerintah Zaw Htay tidak bersedia dimintai komentar terkait hal ini. Mengubah undang-undang, yang sebagian besar membatasi kewarganegaraan kepada anggota "ras nasional" adalah rekomendasi kunci dari komisi Annan.

Dalam kategori ras nasional ada 135 kelompok etnis yang dianggap oleh negara dapat menjadi pribumi. Myanmar yang mayoritas beragama Buddha tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis pribumi. Mereka menyebut Rohingya sebagai "Bengali".

Komisi Annan diciptakan oleh pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada  2016 untuk menemukan solusi jangka panjang bagi divisi etnis dan agama di Rakhine. Sehari setelah panel mengeluarkan laporannya pada Agustus 2017, gerilyawan Rohingya melancarkan serangan terhadap pasukan keamanan.

Balasan  militer Myannar disebut PBB sebagai bentuk pembersihan etnis. Pengakuan  Win Myat Aye, yang mengawasi rencana rekonstruksi di negara bagian Rakhine semakin meragukan rencana untuk memulangkan 700 ribu orang Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh.

Banyak pemimpin pengungsi Rohingya mengatakan mereka tidak akan kembali tanpa jaminan kewarganegaraan. Namun, Penasihat Keamanan Nasional Myanmar Thaung Tun, yang juga hadir pada pertemuan di Denmark, mengatakan pihak berwenang telah mengimplementasikan rekomendasi komisi Annan sesegera mungkin.

"Lebih dari 80 rekomendasi telah dilakukan dalam waktu kurang dari 10 bulan," katanya dalam email.

Mengacu pada rekomendasi yang belum dilaksanakan, dia mengatakan sedang dilakukan pemeriksaan. Pengungsi telah melaporkan pembunuhan, pembakaran, penjarahan dan perkosaan oleh anggota pasukan keamanan Myanmar dan warga  Buddha di Rakhine.

Myanmar menolak tuduhan pembersihan etnis, dan mengabaikan sebagian besar kekejaman. Pada Januari, Myanmar dan Bangladesh menandatangani kesepakatan untuk memulangkan para pengungsi dalam waktu dua tahun. Tetapi perselisihan telah  menunda pelaksanaan rencana tersebut.

Banyak pengungsi Rohingya mengatakan bahwa mereka tidak akan kembali kecuali undang-undang 1982 diubah. Orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Rohingya dikeluarkan dari sensus nasional terakhir Myanmar pada  2014. Ini membuat mereka tidak dapat berpartisipasi  dalam pemilihan bersejarah 2015.

Suu Kyi, sekarang mendesak Rohingya untuk menerima Kartu Verifikasi Nasional. Ini merupakan dokumen residensi yang tidak memiliki kewarganegaraan penuh. Namun, banyak Rohingya menolak  menerima dokumen itu.

Menurut Rohingya, kartu itu mengklasifikasikan mereka sebagai imigran baru seumur hidup. Mereka tidak akan diizinkan untuk melakukan perjalanan dengan bebas. Militer, dengan tegas menolak permintaan Rohingya untuk kewarganegaraan.

Dalam sebuah pidato pada Maret, Jendral Senior Min Aung Hlaing mengatakan Rohingya tidak memiliki karakteristik atau budaya yang sama dengan etnis Myanmar. Ia mengatakan konflik saat ini didorong karena orang Bengali menuntut kewarganegaraan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement