REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) melaporkan insiden penganiayaan masih dialami Muslim Rohingya.
"Tidak ada retorika yang dapat menutupi fakta-fakta ini. Orang-orang masih berlarian menghindari penganiayaan di Rakhine - dan bahkan bersedia mengambil risiko mati di laut untuk menyelamatkan diri," kata Kepala OHCHR, Zeid Ra'ad al-Hussein, Kamis (5/7).
Banyak pengungsi Rohingya juga melaporkan bahwa mereka ditekan oleh otoritas Myanmar untuk menerima kartu verifikasi nasional. "Mereka perlu mengajukan permohonan kewarganegaraan. Masalah kewarganegaraan adalah inti dari diskusi tentang status mereka," ungkap Zeid.
Pihak berwenang di Myanmar menyangkal melakukan pelanggaran hak asasi manusia skala besar. Pihak berwenang mengatakan tindakan keras di Rakhine adalah tanggapan yang diperlukan untuk menangani kekerasan oleh kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang menyerang pos keamanan Myanmar.
Kyaw Moe Tun, Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar, mengatakan prioritas utama bagi pemerintahannya adalah untuk menemukan penyelesaian berkelanjutan di Rakhine. "Kementerian sepakat dengan Bangladesh pada Januari 2018 "bahwa pemulangan kembali pengungsi akan selesai dalam waktu dua tahun, katanya, tanpa menggunakan kata Rohingya.
Dia mengatakan bahwa laporan Zeid mengandung informasi yang "menyimpang atau berlebihan". "Akar penyebab tragedi itu adalah terorisme dan terorisme tidak bisa dimaafkan dalam keadaan apa pun," kata