Sabtu 21 Jul 2018 17:06 WIB

Usai Operasi Pasar Harga Telur Masih Mahal, Ini Penyebabnya

Kenaikan harga telur ini salah satunya karena mata rantai yang terlalu panjang.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Andi Nur Aminah
Operasi Pasar Telur Ayam. Warga mengantri membeli telur ayam saat operasi pasar di Toko Tani Indonesia Center (TIIC), Jakarta, Kamis (19/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Operasi Pasar Telur Ayam. Warga mengantri membeli telur ayam saat operasi pasar di Toko Tani Indonesia Center (TIIC), Jakarta, Kamis (19/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga telur masih mengalami kenaikan setelah operasi pasar yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian Kamis (19/7) lalu. Saat ini harga telur di tingkat peternak masih sekitar Rp 20.500 per kilogram. Sedangkan harga di pasar di Jakarta melambung hingga Rp 28.000 per kilogram.

Menurut Ketua Pinsar Petelur, Hidayat, kenaikan harga telur ini salah satunya karena mata rantai yang terlalu panjang. Karena harga di tingkat peternak lebih rendah sehari sebelum operasi pasar yaitu Rp 18 ribu per kilogram. "Makanya sudah rendah kok operasi pasar. Di peternak sekarang harganya 20.500, di Jakarta 27 ribu sampai Rp 28 ribu, ini kan ada disparitas harga yang lebar. Harus diurai. Apakah mata rantai terlalu panjang yang harus dipendekkan, supaya konsumen dan peternak tidak jadi korban?" ujar Hidayat kepada Republika.co.id, Sabtu (21/7).

Akibat mata rantai yang panjang, Hidayat mengatakan, kenaikan harga telur sama sekali tidak dinikmati oleh para peternak. Terlebih lagi biaya produksi yang kian membengkak lantaran rupiah yang melemah terhadap kurs dolar AS. "Biaya produksi telur kurang lebih naiknya jadi Rp 19.500," imbuhnya.

Pakan untuk ternak ayam saat ini sebanyak 30 hinga 40 persennya berasal dari impor. Karena pakan lokal tidak cukup memenuhi kebutuhan ternak. Kenaikan harga pakan ini membuat peternak rugi sekitar Rp 2.100 per kilogram dari biaya produksi.

Angka tersebut didapatkan dari konversi rasio yang disepakati untuk menghitung biaya produksi sebesar 3,5 persen yang dikalikan dengan kenaikan harga pakan sebesar Rp 600.  "Ya sekarang harga di kami ini tidak untung, tapi kami bertahan dengan break even point," ungkap Hidayat.

Di sisi lain, terdapat egg drop syndrome atau penyakit ayam dimana ayam yang diternak tidak mati namun tidak menghasilkan telur. Berbagai kendala ini diharapkannya dapat segera diatasi pemerintah.

Hidayat berharap pemerintah antarinstansi terkait dapat lebih berkoordinasi terkait jagung yang merupakan pakan ayam. Pemerintah diharapkan dapat mengupayakan surplus jagung agar para peternak bisa mengurangi impor. Selain itu, pemerintah harus mencari solusi apakah penyakit egg drop syndrome disebabkan oleh virus atau bakteri. "Kami peternak juga bingung kenapa. Sehingga ini mengakibatkan pasokan berkurang, dan mengakibatkan harga telur naik," kata Hidayat.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, Sabtu (21/7), rata-rata harga telur di wilayah DKI Jakarta sebesar Rp 28 ribu per kilogram. Di Jawa Barat dan Banten juga tercatat masih tinggi yakni masing-masing Rp 27.100 per kilogram dan Rp 28.500 per kilogram.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement