REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) jadi cerminan melemahnya daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Namun, masalah ini tak bisa dijawab hanya dengan diskon dan promosi semata. Diperlukan langkah konkret untuk memperkuat konsumsi rakyat dari bawah, mulai dari stabilisasi harga pangan hingga penguatan perlindungan sosial dan belanja publik berbasis kerakyatan.
Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menekankan bahwa Rojali bukan sekadar tren gaya hidup urban, melainkan gejala sosial dari struktur ekonomi yang belum pulih sepenuhnya. Peneliti IDEAS, Sri Mulyani, mengatakan istilah Rojali muncul dari pengamatan sosial yang cepat menyebar menjadi percakapan publik. Ia menggambarkan realita masyarakat yang tetap ingin bersosialisasi, tetapi kehilangan kemampuan untuk bertransaksi.
“Aktivitas konsumtif digantikan oleh hiburan visual dan eksistensial seperti nongkrong, memotret, dan berbagi di media sosial bukan karena sekadar tren tetapi karena keterbatasan ekonomi,” kata Sri kepada Republika, akhir pekan ini.
Daya beli masyarakat turun karena pendapatan tergerus sejumlah faktor. Kondisi ini tecermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai 4,89 persen pada kuartal I 2025.
