Senin 06 Aug 2018 13:40 WIB

Mulia karena Tawadhu

Allah menilai manusia berdasarkan iman dan amal saleh.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,OLEH AHMAD RIFAI 

Secara fisik, manusia adalah makhluk termulia. Namun, kemuliaan itu tidak serta-merta menjadikannya mulia di sisi Allah. Sebab, Allah memuliakan seseorang tidak melihat pada fisik, jabatan, atau atribut duniawi yang melekatinya.

Allah menilai manusia berdasarkan iman dan amal saleh. Salah satu amal saleh yang menjadi sumber kemuliaan manusia adalah tawadhu. Allah memerintahkan nabi dan seluruh umatnya agar memiliki sifat ini. Allah berfirman, "Dan berendah dirilah (tawadhu) kamu terhadap orang-orang yang beriman." (QS al-Hijr: 88).

Allah memerintahkannya karena tawadhu adalah faktor penting di balik lahirnya akhlakul karimah. Sopan santun, menghormati, mengasihi sesama, dan sederet sifat-sifat mulia lainnya adalah buah dari sifat tawadhu.

Apakah tawadhu itu? Hasan al-Bashri berkata, tawadhu itu adalah engkau keluar dari rumahmu dan tidak engkau jumpai seorang Muslim kecuali engkau melihatnya ia memiliki keutamaan yang tidak engkau miliki. (Al-Ihya, 3/342).

Termasuk dalam makna tawadhu adalah menerima kebenaran dari manapun datangnya kebenaran itu. Fudhail bin Iyadh pernah ditanya tentang tawadhu, lalu ia menjawab, tawadhu itu adalah seorang tunduk kepada kebenaran, patuh dan menerimanya meski kebenaran itu datang dari anak kecil atau orang yang bodoh. (Madarijussalikin, 2/329).

Ketika seorang mampu menghadirkan tawadhu dalam dirinya, beragam kemaslahatan akan didapatkannya. Sebab, ketawadhuan bukanlah sesuatu yang hanya mengendap dalam hati. Ia akan memancar dalam sikap, tingkah laku, dan tutur kata.

Oleh sebab itu, sifat tawadhu sejatinya adalah kebutuhan mendasar dan mendesak setiap orang beriman. Pejabat atau rakyat biasa sangat membutuhkannya. Betapa indahnya kehidupan bermasyarakat jika pemimpin dan rakyatnya menghiasi diri dengan sifat tawadhu.

Inilah salah satu kunci sukses Rasulullah dalam memimpin umat. Beliau memimpin dengan penuh ketawadhuan. Meski berstatus pemimpin besar, utusan Allah yang mulia, sifat sombong tidak punya tempat bertakhta di dalam kalbunya. Sifat tawadhu menjadi perisai yang amat tangguh untuk menangkis sifat sombong.

Alhasil, kesederhanaan dan kebersahajaan tetap setia menyertai hari-hari beliau hingga akhir hayat. Ia pun menjadi panutan dan sosok yang begitu dicintai sahabatnya dan orang beriman.

Jadi, merendahkan diri dalam konteks tawadhu karena Allah bukanlah kehinaan. Justru, sikap seperti itulah yang akan menempatkan kita pada maqam yang mulia, tentunya jika tawadhu itu karena Allah, bukan pencitraan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement