Rabu 22 Aug 2018 18:02 WIB

Hubungan Turki dan AS Retak, Rusia Percepat Kirim Rudal

Turki akan mendapatkan rudal dari Rusia tahun depan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Nur Aini
Sistem rudal darat-ke-udara jarak menengah dan jarak jauh Rusia S-400 saat parade Hari Kemenangan perayaan 71 tahun kemenangan atas Nazi Jerman di Perang Dunia II di Red Square, Moskow, Rusia, 9 Mei 2016.
Foto: REUTERS/Grigory Dukor
Sistem rudal darat-ke-udara jarak menengah dan jarak jauh Rusia S-400 saat parade Hari Kemenangan perayaan 71 tahun kemenangan atas Nazi Jerman di Perang Dunia II di Red Square, Moskow, Rusia, 9 Mei 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia segera memulai pengiriman rudal S-400 ke Turki pada 2019. Pengiriman hulu ledak itu dilakukan lebih awal daripada yang telah direncanakan sebelumnya. Hal itu dilakukan menyusul retaknya hubungan Turki dengan AS dan Pakta Aliasi Atlantik Utara (NATO).

"Kontrak pengirimian terkait S-400 ke Turki dilaksanakan lebih awal dari waktu yang telah disepakati dan pada 2019 kami akan memenuhi kontrak itu," kata Kepala Rosoboronexport Alexander Mikheyev, seperti diwartakan Aljazirah, Rabu (22/8).

Rosoboronexport merupakan manufaktur senjata milik Rusia yang memproduksi hulu ledak tersebut. Dalam kontrak sebelumnya, pengiriman rudal S-400 akan mulai dilakukan pada 2020 mendatang.

Transaksi pembelian senjata militer itu tidak dilakukan menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Perdagangan antara Turki dan Rusia itu dilakukan dengan memakai mata uang lokal. Nilai perdagangan senjata militer itu mencapai 2,5 miliar dolar AS.

Belanja itu membuat Turki menjadi negara NATO pertama yang memiliki rudal canggih buatan Rusia. S-400 memiliki sistem yang tidak memiliki kecocokkan dengan sistem NATO. Rudal itu disebut-sebut mampu membidik target di udara dalam kisaran 400 kilometer. Pembelian rudal pabrikan Rusia itu membuat khawatir pejabat militer dan politisi AS.

Hubungan bilateral Turki-AS tengah berada dalam kondisi yang kurang harmonis. Tensi kedua negara belakangan kembali meningkat menyusul penahanan seorang pastor asal AS Andrew Brunson.

AS diketahui juga telah menjatuhkan sanksi terhadap dua orang pembantu presiden Turki, yakni Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul dan Menteri Dalam Negeri Suleyman Soylu. Keduanya dijatuhi hukuman menyusul dugaan mendalangi sebuah organisasi yang bertanggung jawab atas penangkapan pastor asal AS, Andrew Craig Brunson.

Tensi terus meningkat setelah AS menggandakan tarif ekspor aluminium dan baja asal Turki masing-masing sebesar 20 persen dan 50 persen. Istanbul kemudian membalas dengan meningkatkan sejumlah tarif barang impor dari AS, seperti kendaraan penumpang hingga 120 persen, alkohol hingga 140 persen, dan tembakau asal AS sebesar 60 persen. Barang-barang lalinnya yang juga terdampak penggandaan tarif adalah kosmetik, beras, dan batu bara.

Terkait kasus Brunson, Gedung Putih mengatakan jika Presiden AS Donald Trump frustrasi lantaran Istanbul belum juga membebaskan pastor tersebut. Gedung Putih mengatakan, AS berencana menerapkan tekanan ekonomi lainnya kepada Turki agar mau melepaskan Brunson.

"Presiden frustrasi pada kenyataan bahwa Pastor Brunson belum dibebaskan serta fakta jika WN AS lainnya dan karyawan yang memiliki fasilitas diplomatik juga belum dibebaskan,” kata Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Sanders.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement