REPUBLIKA.CO.ID, COXS BAZAAR -- Hamida Begum meninggalkan rumahnya di Myanmar ke negara tetangga Bangladesh sekitar dua bulan yang lalu. Ia pergi bersama dengan suaminya, putra berusia dua tahun, dan bayi tiga bulan.
Sebelum meninggalkan Myanmar, suaminya hampir tidak pernah tidur di rumah karena takut ditangkap. "Dia akan memanjat di atas pohon dan duduk di sana sepanjang malam, bahkan jika hujan sangat deras," kata peremuan berusia 18 tahun itu. Ia mengenakan jilbab kuning dengan gaun ungu dan duduk di lantai pondok bambunya.
Hamida kini tinggal di tepi kamp pengungsi terbesar di dunia, yakni Coxs Bazaar. Ia menjadi salah satu pengungsi yang datang terakhir di antara sekitar 700 ribu Muslim Rohingya.
Myanmar mengatakan pihaknya siap untuk mengambil kembali Rohingya. Namun, arus pengungsi yang terus datang seperti Hamida dan keluarganya. Hal itu terjadi di tengah kurangnya progres dalam menangani krisis, setahun sejak awal serangan pada 25 Agustus 2017.
Eksodus Rohingya telah mengancam transisi Myanmar ke demokrasi dan menghancurkan citra pemimpinnya, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
"Krisis telah menyebabkan kerusakan besar pada kedudukan Myanmar di dunia," kata Mantan diplomat PBB di negara itu dan seorang analis politik Richard Horsey.
Pemerintah Suu Kyi telah menolak tuduhan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap para pengungsi. Myanmar telah membangun pusat-pusat transit untuk menerima warga Rohingya yang kembali ke negara bagian Rakhine barat. Tapi kisah Hamida dan pendatang baru lainnya di Bangladesh, setidaknya 150 orang pada Agustus dan hampir 13 ribu sejak awal tahun, membuktikan penanganan krisis masih jauh dari harapan.
Sekitar enam pengungsi yang baru tiba mengatakan setelah berbulan-bulan berjuang di tengah gubuk dan desa-desa kosong, mereka terpaksa meninggalkan rumah karena takut dilecehkan atau ditangkap oleh pasukan keamanan. Mereka mengaku dikurung di rumah dan menderita kelaparan. Mereka tidak dapat bekerja, berbelanja di pasar untuk membeli makanan, atau beribadah di masjid.
Myanmar mengatakan pihaknya tidak memprovokasi krisis. Militernya melancarkan operasi kontra-pemberontakan yang sah dalam menanggapi kampanye kekerasan dari Rohingya. "Itu adalah kegiatan sistematis oleh sebuah kelompok untuk mendapatkan kewarganegaraan bagi orang-orang Bengali," kata Juru bicara partai National League for Democracy (NLD), Myo Nyunt.
Myanmar menyebut Rohingya sebagai "Bengali", yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari Bangladesh. Masuknya pengungsi secara besar-besaran telah mengubah perbukitan di bagian tenggara Bangladesh menjadi lautan tenda putih, oranye, dan biru. Penduduk menetap untuk jangka panjang.
Di dekat pondok Hamida, pria Rohingya membawa batu bata, menggali jamban setinggi empat meter. Ia memperkuat lereng berlumpur dengan tanah dan memperbaiki pagar untuk sekolah baru yang dikelola LSM. Potongan kayu, batang bambu, dan lembaran terpal tersebar di seluruh area, di mana banyak para pendatang baru membangun tempat tinggal mereka.
Hamida mengatakan sekitar 5.000 warga Rohingya tinggal di desanya di Rakhine utara hingga Agustus lalu. Saat melarikan diri sekitar dua bulan lalu, dia berada di antara sekitar 100 orang yang tinggal di dusun yang sebagian terbakar itu.
Reuters tidak dapat memverifikasi keterangan Hamida secara independen. Namun kerabat dan tetangganya membenarkan cerita Hamida dan memberi penjelasan tambahan.
Hamida memutuskan tetap tinggal saat serangan awal karena tidak mampu membayar perjalanannya ke Bangladesh. Menurutnya, beberapa bulan setelah serangan itu, pasukan keamanan sering berpatroli di desanya dan menangkap orang-orang Rohingya untuk melakukan pekerjaan tanpa bayaran di kamp militer di dekatnya.
"Di Myanmar, jika anak-anak saya mulai menangis di malam hari, saya bahkan tidak bisa menyalakan lilin. Jika militer melihat cahaya mereka datang dan menangkap Anda, " katanya.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan pekan lalu bahwa lebih dari separuh pendatang baru melaporkan bahwa kerabat mereka yang tersisa di Myanmar juga berencana untuk pergi karena kekhawatiran yang terus berlanjut.
"Orang-orang mengatakan kepada kami bahwa mereka merasa seperti tahanan. Mereka tidak bisa meninggalkan rumah, orang-orang tidak bisa pergi memancing, jam malam sangat ekstrem, bahwa hanya ada jam-jam tertentu ketika Anda dapat menyalakan api, " kata Caroline Gluck, perwakilan UNHCR di kamp-kamp.
Juru bicara Suu Kyi tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar. Dalam sebuah pidato di Singapura pada Selasa, pemimpin sipil Myanmar mengatakan negara itu telah membuat persiapan untuk pemulangan pengungsi. Tetapi ia mengaku sulit untuk menetapkan jangka waktu pemulangan itu.
"Orang-orang yang kembali harus dikirim kembali oleh Bangladesh. Kita hanya bisa menyambut mereka di perbatasan," katanya.
Juru bicara NLD, Myo Nyunt, mengakui bahwa ketegangan etnis dan agama yang memicu kekerasan di Rakhine setahun yang lalu tetap terasa. "Situasi di daerah itu tidak berubah dalam satu tahun. Butuh waktu untuk ditingkatkan, hidup dalam harmoni," katanya.