REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hanya mengklarifikasi hal-hal yang sifatnya administratif dipersoalkan.
Ketua BP Setara Institute Hendardi mengatakan seharusnya hal-hal substantif yang dipertanyakan masyarakat juga diklarifikasi KPU. “Kita sebetulnya, kalau mau bicara misi, pemilu itu semestinya dijadikan ajang peradilan politik bagi orang bermasalah di masa lalu, baik dari korupsi maupun pelanggaran HAM berat," kata Hendardi, Sabtu (31/5).
Kalau ada masyarakat yang mempertanyakan track record bakal capres adalah hal wajar. Karena hal yang substansial dalam seleksi kepemimpinan. Sayangnya, kata dia, KPU terlalu naif karena justru patokannya pada hal administratif seperti usia dan lain-lain, yang sifatnya administratif belaka.
“Presiden ini kan pemimpin bangsa, dan itu mestinya diseleksi dengan baik," kata dia. Salah satu yang harus diklarifikasi KPU, menurut Hendardi adalah soal pemecatan capres Prabowo Subianto oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Peradilan Prabowo Subianto, menurut dia, belum selesai. DKP baru mengadili dalam konteks soal etik dan diberhentikan. "Itu bukan berarti masalah selesai, tetapi belum dilakukan,” paparnya.
Saat ini, KPU telah menetapkan dua pasang capres-cawapres telah memenuhi syarat dan secara administratif telah dilakukan verifikasi.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, menyatakan bahwa pengecek perbuatan tercela dilakukan dengan melihat dokumen Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), yang dikeluarkan Polri.
Hadar Gumay menyatakan KPU tak mempermasalahkan sebab tak ada putusan hukum
mengikat. Dengan alasan itu KPU untuk menyatakan Prabowo tak pernah melakukan perbuatan tercela sesuai UU.