REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK - Deklarasi koalisi permanen yang digagas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan partai pendukungnya di Tugu Proklamasi, Senin (14/7), bukanlah sesuatu yang luar biasa. Hal itu tidak perlu dikhawatirkan berlebihan karena koalisi tersebut hanya menunjukkan kelemahan pasangan tersebut.
"Wajar saja koalisi permanen itu, jika memahami teori perang Tsun Zu, bahwa jika dalam posisi lemah tunjukkan kuat dan jika posisi kuat tunjukkan lemah. Kita perlu melihatnya apakah koalisi permanen itu sedang menempatkan diri dalam posisi kuat atau posisi lemah," kata anggota timses Jokowi-JK, Fahmi Habsyi di Depok, Selasa (15/7).
Aktivis 98 tersebut mengatakan bahwa koalisi permanen ini cenderung simptomian atau respon gejala di tengah kekhawatiran kemenangan Jokowi-JK menjadi final dan resmi.
Koalisi permanen itu terbentuk atas dasar perhitungan politik meningkatkan posisi tawar salah satu partai besar yang tergabung didalamnya, jika kemudian hari kalkulasi politik harus dihitung ulang dan bergabung dengan pemenang.
"Obama juga mengalami hal sama ketika Partai Republik menguasai pimpinan parlemen. Politik itu kan ada seni dan tantangannya. Sejauhmana kita mampu mengkapitalisasi secara baik dan niatnya untuk mensejahterakan rakyat. Ini dunia semua bisa didudukkan dan dibicarakan," katanya.
Menurut Fahmi yang perlu ditakuti Jokowi-JK adalah koalisi permanen Tuhan dan para Malaikat karena hanya Dia kerajaan diberikan dan dicabut kepada yang Dia kehendaki.
"Fokusnya saat ini energi seluruh kader partai koalisi dan relawan mengamankan kemenangan dan menghadang kecurangan. Koalisi permanen itu dipikirkan setela tanggal 22 Juli 2014, atau pas halal bihalal," ujar Fahmi.
Pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 diikuti oleh dua pasangan yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan nomor urut satu dan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan nomor urut dua.