REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kualitas guru di Tanah Air menurun pascaperubahan status Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas yang seharusnya dipertahankan untuk menyiapkan calon guru dalam kompetensi pedagogik yang jelas dan pas.
"Termasuk juga peniadaan Sekolah Guru Atas (SGA) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang pernah ada pada masa kolonial hingga tahun 60-an," kata pengamat politik dan kebudayaan Yudi Latif saat menjadi panelis dalam acara "Konvensi Pendidikan" yang diselenggarakan Persatuan Guru RI di Bentara Budaya Jakarta, Rabu.
Ketika IKIP menjadi universitas maka lembaga tersebut kemudian cenderung mengikuti tren pendidikan tinggi pada umumnya dan tidak fokus lagi pada tugas membekali dan menyiapkan mahasiswa dengan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan sebagai seorang guru.
Demikian juga keberadaan SGA dan SPG pada masa lalu mampu memberikan kontribusi besar pada pembentuk karakter dan pribadi calon guru, kataa Yudi Latif yang juga Direktur Eksekutif Reform Institute.
Ia mengemukakan pendidikan kolonial memang diskriminatif tetapi menghasilkan lembaga pendidikan yang bermutu, salah satunya pendidikan guru zaman penjajahan Belanda luar biasa hebatnya dan jejak-jejak keberhasilan berlangsung sampai tahun 1960-an.
"Sampai-sampai negara tetangga, seperti Malaysia banyak berutang budi karena banyak belajar dari pengalaman guru-guru kita yang diundang ke negeri mereka," ujarnya.
Yudi mengatakan masa sekarang memang sudah ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru salah satunya melalui upaya sertifikasi dan beasiswa pendidikan sarjana strata 1 bagi guru-guru SD yang beluam meraih jenjang itu.
Namun demikian, Yudi menilai upaya peningkatan itu berhenti hanya sampai pada formalitas saja dan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas pendidik.
Sebagai contoh, seiring dengan adanya kewajiban sertifikasi guru, maka banyak guru di daerah dan di desa yang mengejar untuk meraih pendidikan sarjana strata satu namun hanya sekadar mendapat ijazah sarjana tetapi tidak tahu kualitas dari perguruan tinggi tersebut.
"Banyak universitas dan perguruan tinggi gadungan masuk ke desa-desa hanya sekadar mencari untung dengan menawarkan ijazah tetapi tidak memperkuat kualitas dan kapasitas guru. Sekarang ini, seolah-seolah dengan mendapat gelar sarjana kemudian berarti guru itu sudah dianggap layak mengajar," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal Gultom menyatakan meski SGA dan SPG tidak bisa dihidupkan kembali tetapi paling tidak harus ada proses penyiapan tenaga-tenaga guru melalui penguatan profesi guru secara sungguh-sungguh.
"Standar guru perlu ditegakkan dan harus ada instrumen sebagai pijakan untuk mengukur kualitas guru apakah telah memiliki kompetensi sesuai dengan profesinya," kata dia.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.
"Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru juga masih bermasalah sehingga menjadi kepedulian bersama tidak hanya pemerintah tetapi organisasi guru untuk melakukan peningkatan kualitas guru," tambahnya.