REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyayangkan berkurangnya kuota Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2019. Sebab, selama ini banyak siswa yang telah 'menabung' nilai sejak kelas sepuluh dengan harapan diterima ke salah satu PTN melalui jalur SNMPTN.
"Sebaiknya panitia SNMPTN memberikan apresiasi lebih terhadap proses pembelajaran yang sudah diikuti siswa, hingga akhirnya melahirkan output berupa nilai rapor yang sangat baik," kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim saat dihubungi Republika, Kamis (25/10).
Jika alasan dikuranginya kuota SNMPTN karena nilai siswa ketika sekolah dan kuliah berbeda, menurut Satriwan itu adalah variabel lain. Sebab ketika di perkuliahan konteks motivasi, aktivitas belajar, lingkungan akademik, budaya belajar semuanya berbeda dari masa SMA.
"Mestinya menjadi pertanyaan bagi universitas, mengapa siswa SNMPTN tersebut 'biasa-biasa' saja di perkuliahan. Tidak lagi berprestasi?" ucap Satriwan yang juga mengajar di SMA Labschool Jakarta.
(Baca: Pengurangan Kuota SNMPTN 2019 Dinilai Positif)
Kendati begitu, lanjut Satriwan, pengurangan kuota SNMPTN 2019 mesti dijadikan otokritik bagi sekolah. Sehingga sekolah-sekolah yang masih "nakal" mengkantrol nilai rapor siswa demi SNMPTN segera berbenah. Sebab kejujuran adalah hal yg paling utama dalam dunia pendidikan.
"Saya juga berharap agar para siswa tidak berkecil hati, sebab saya yakin anak- Indonesia itu sangat optomistis walaupun serba kekurangan dan sudah mati-matian belajar demi lolos SNMPTN," harap Satriwan.
Diketahui, daya tampung kuota Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) tahun 2019 dikurangi dari yang awalnya minimal 30 persen, menjadi minimal 20 persen dari total daya tampung PTN. Pengurangan kuota tersebut mengacu pada hasil evaluasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang menyimpulkan ada diferensiasi antara nilai rapot di sekolah dengan prestasi setelah mengikuti proses belajar di kampus.
"Setelah dievaluasi ternyata ada sekolah tertentu yang kolerasinya tidak nyambung. Dalam artian, prestasi siswa di sekolah dan selama kuliah tidak sinkron. Dari evaluasi itu juga disimpulkan bahwa yang kolerasinya baik dan secara akademis sekolahnya bisa dipertanggungjawabkan itu ternyata hanya ada 20 persen," kata Sekretaris Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Prof Joni Hernama.
Dia menerangkan, sekolah yang terakreditasi A boleh mendaftarkan 40 persen siswa terbaiknya melalui SNMPTN. Lalu sekolah yang terakreditasi B boleh mendaftarkan 30 persen siswa terbaiknya, dan sekolah terakreditasi C atau belum terakreditasi hanya bisa mendaftarkan 5 persen siswa terbaiknya pada SNMPTN tahun 2019.