REPUBLIKA.CO.ID, Ini merupakan kisah nyata, ketika bu Sofi mendapatkan kesempatan ke Palestina, melihat langsung kehidupan di sana. Kehidupan rakyat Palestina yang katanya sudah lumayan damai didalam fase penjajah Israel.
Maka bu Sofi pun bersyukur dalam hati, alhamduillah anak-anak Palestina masih bisa hidup dengan tenang, jauh dari kekejaman dan tembakan, tidak disiksa dan tidak berdarah-darah. Anak Palestina yang nampak berlari kesana kemari sebagian menawarkan dagangannya berupa gelang-gelang berwarna-warni mulai dari bahan rajut yang tentu saja semua anak berdagang dengan benda yang serupa sehingga membuat bingung sang pembeli.
Kalau saja barang dagangan itu dijual di indonesia, bu Sofi tidak akan mau membelinya, buat apa barang seperti itu sudah banyak, apalagi bila semua anak berjualan dengan barang yang serupa. Namun karena bu Sofi dan rombongan delegasi Indonesia dari partai berkunjung ke Palestina dalam rangka melihat kondisi damai rakyat Palestina yang digembar-gemborkan Amerika dan Yahudi dan media-media barat, untuk menunjukkan bahwa Israel tidak sekejam yang digambarkan. Maka bu Sofi dan temen-temannya rela mengeluarkan beberapa dollar dalam bentuk satu dolar uang kertasan untuk ditukarkan dengan sebuah gelang kecil yang sebetulnya tidak cukup untuk tangan bu Sofi yang akhir-akhir ini menjadi gemuk.
Niatnya menyumbang, jadi walau barang yang ditawarkan tidak seimbang tetap saja dibeli, sampai akhirnya bu Sofi meneteskan airmatanya melihat betapa anak-anak itu begitu semangat menawarkan barang dagangannya dan saling bersikap itsar, mendahulukan yang lain, tidak berebut dan tidak serakah. Bahkan ketika barang dagangan habis dan mereka tidak punya barang lagi buat ditawarkan, lalu teman bu Sofi masih mengeluarkan lima dollarnya yang terakhir untuk disumbangkan, mereka menjawab dengan gelengan kepala sambil berkata, “laa laaa,” yang artinya “tidak”, jawabnya dalam bahasa arab, tanpa senyum. Subhanalah mereka enggan mengemis, bagi mereka mendapatkan uang harus dengan usaha..
Perlahan bu Sofi dan rombongan pun menuju arah pulang kembaIi ke wisma yang sudah disediakan panitia. Saat makan siang sudah lewat, makan malam belum juga tiba, sekitar pukul 4 sore, dan bu Sofi melihat ada sebuah truk berisi galon besar dengan keran air disampingnya. Lalu berderet-deret anak-anak dan ibu-ibu tua Palestina, entah kemana ibu-ibu mudanya, juga tidak terlihat lelaki muda maupun tua. Mereka semua mengantri dengan diam dan tenang, tidak berebut dan nampak dengan muka pasrah, tidak juga menegur satu dengan yang lain nampak kurangnya keceriaan mereka. Mereka masing-masing membawa kaleng bekas biskuit yang sudah karatan.
Lalu ketika akhirnya makanan tersebut dibagikan, bu Sofi terperanjat meIihat cairan kuning yang cair tidak kental juga tidak encer, mungkin seperti bubur jagung saring, diberikan pada anak-anak dan ibu-ibu yang mengantri. Lalu akhirnya bu Sofi memberanikan diri bertanya dengan bahasa Arab sepatah-sepatah, tidak berani bertanya lama-lama, dan jawaban mereka bahwa itulah makanan yang dibagikan oleh Pemerintah dan masyarakat dunia, sekali dalam sehari dan selalu bentuknya seperti itu, tidak berubah, tidak ada nasi, roti, daging, ikan, sayur atau apapun. Maka berlinanglah airmata bu Sofi untuk kesekian-kalinya.
Kelima anak bu Sofi terdiam tidak lagi berebut makanan, tidak juga menagih makanan seperti yang dilihat di iklan televisi karena bu Sofi menceritakan kepada anak-anaknya tentang pengalaman itu dengan penuh penghayatan maka anak-anaknya ikut merasakan penderitaan anak-anak Palestina yang makan bubur kuning cair kapan saja dan dimana saja, bukan hanya dibulan ramadhan, hari biasa, buka puasa, sahur, lebaran, ulang tahun, hari raya, liburan, tetap saja makanannya bubur kuning tanpa rasa, tanpa bentuk selama bertahun tahun.
Bayangkan dengan anak-anak bu Sofi dan semua anak Indonesia lainnya terutama yang hidup dikota besar, ketika buka puasa ada yang ditunggu, cendol, es krim, sirup, air kelapa, serabi, bubur sum-sum, ayam goreng yang selalu diusahakan berbeda setiap hari, beraneka dan semuanya lezat, banyak juga bahkan yang tersisa. Bayangkan dan bandingkan dengan anak-anak di Palestina yang tdak ada harapan, bahkan terhadap makanan berbuka puasa mereka tidak berharap, masih hidup saja sudah bersyukur.
Teringat pengalaman itu bu Sofi seketika juga menjadi malas menyantap apapun ketika buka puasa.
“Mudah-mudahan Allah berikan mereka makanan disurga yaa bunda,” sentuh si kecil mengajak bundanya makan dengan lahap dan sang kakak menjawab, “tapi masuk surganya kan masih lamaa..” Dan kembali dalam diam, selera makan berkurang mengingat anak-anak Palestina dan bubur gandum cair tanpa bentuk. Masya Allah, semua terasa tidak adil jika teringat ayah pada acara buka puasa dikantornya, di sebuah hotel yang mana ketika makanan bersisa dan sangat melimpah, semua itu dibuang dalam plastik sampah besar, sungguh ironi...(adv)
Fifi.P.Jubilea
Founder and Conceptor of JISC