REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penghapusan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Selama ini, penerapan program tersebut belum memperlihatkan keunggulan kompetitif yang dilakukan sekolah yang menyandang status tersebut.
"Secara substantif, saya belum melihat keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh sekolah RSBI/SBI. Sekolah RSBI/SBI belum memiliki prestasi dan kualitas yang teruji," ujar Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi di Jakarta, Rabu (9/1).
Selama ini yang terlihat dari RSBI, menurut dia, hanya penampilan fisik sekolah, fasilitas, penggunaan bahasa Inggris, dan hal lainnya yang tidak mendasar. Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini menilai dengan penampilan yang terkesan mentereng jika disandingkan sekolah reguler, prestasi dan kualitas RSBI justru belum terlihat.
"Karena itu, dalam konteks ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan dapat mengejar kualitas pendidikan yang berstandar nasional, bukan sekedar sekolah berstandar internasional," tutur alumnus Colorado State University, Amerika Serikat itu.
Menurut dia, kualitas anak didik di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia harus sama sehingga anak yang belajar di Papua dan Aceh memiliki pengetahuan setara dengan mereka yang belajar di Jakarta. "Dengan begitu, anak-anak Indonesia akan tumbuh dengan pengetahuan dan moral yang memiliki standar yang sama," ujarnya.
Sebelumnya, MK memutuskan mengabulkan permohonan penghapusan RSBI di sekolah-sekolah pemerintah karena bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan bentuk liberalisasi pendidikan.
"Ini merupakan bentuk baru liberalisasi dan dualisme pendidikan serta berpotensi menghilangkan jati diri bangsa dan diskriminasi adanya biaya yang mahal," kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1)
MK mengabulkan permohonan sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan untuk menguji pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang tidak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) karena mahal.
Orang tua murid yang mengajukan 'judicial review' adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria dan Milang Tauhida bersama sejumlah aktivis pendidikan yaitu Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo dan Febri Antoni Arif.
Penghapusan status RSBI merupakan 'judicial review' keempat terhadap Undang-Undang Sisdiknas yang diajukan dan dikabulkan MK. Sebelumnya MK telah mengabulkan pengujian terhadap adalah pasal 49 tentang anggaran pendidikan, pasal 53 tentang Badan Hukum Publik dan pasal 55 tentang bantuan bagi sekolah swasta.