REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asep Sapa'at (Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
Ini kisah cerita bertajuk sengsara membawa nikmat. Karena sengsara, nikmat pun didapat. Awalnya terhina karena difitnah, akhirnya jadi terhormat dan mulia karena mampu kelola kesengsaraan secara produktif. Itulah kisah hidup si Midun. Anak desa jago silat yang difitnah dan diasingkan si Kacak.
Midun sabar terima penderitaan. Malah juga harus berterima kasih pada Kacak. Tanpa ulah Kacak, mungkinkah Midun bisa mengalami gegar nilai dalam hidup? Itulah ibrah bagi guru, yang selalu tersengsarakan. Yang setiap detik berkelindan dengan episode kehidupan. Inilah babak sekolah terbaik bagi para guru yang selalu bertransformasi from M to M?
Guru dan ‘M to M’ adalah dua hal berbeda. Guru adalah sosok, sedangkan ‘M to M’ mengancik pada suatu kegiatan atau kata kerja. Pertama, guru tentu tak hanya muslim. Mungkin, yang atheis pun ada. Bagi yang muslim, alangkah indahnya jika guru memahami 'M to M'. Karena itu yang kedua, ‘M to M’ merupakan Muslim to Mukmin. Guru muslim banyak, guru mukmin berapa banyak? Siapapun dapat mengaku Islam. Mengaku banyak tapi yang benahi tauhid sedikit. Yang muslim banyak yang mukmin sedikit. Benahi tauhid artinya mengasah iman.
Bila yang mengaku muslim ini guru, dia punya posisi strategis, tapi tak mampu gunakan peran keguruannya dengan baik. Bila akhlaknya tak beres, mudharatnya jadi petaka bagi siapa saja. Lebih-lebih jika dia punya orientasi untung untuk diri sendiri, maka murid, sekolah, dan lingkungan, dapat manfaat apa? Mengaku Islam namun tak sungguh-sungguh perbaiki akhlak diri sendiri dan murid-muridnya. Guru, reputasi dan nama baiknya jadi pertaruhan.
Kedua, Mukmin to Muttaqin. Menjadi mukmin artinya membenahi tauhid, agar tahu dan kenal Allah SWT. Mengenal Allah tak lain adalah mengenal diri sendiri. Mengenal diri adalah mengenal jiwa. Mengenal jiwa adalah mengendalikan nafsu. Siapa yang kendalikan nafsu, nikmatnya terasa di hati. Siapa yang dapat kenikmatan hati, dia kenali jiwanya. Mengenal jiwa, itulah dia telah mengenal Allah SWT.
Siapa yang kenal Allah SWT, pasti cinta, takut dan rindu pada-Nya menjadi satu. Siapa yang takut pada Allah, pasti dia tak akan lagi takut pada apapun di dunia. Memanipulasi dana bantuan operasi sekolah, merekayasa nilai rapor murid, korupsi jam kerja, beri sogokan untuk licinkan jalan meraih sertifikasi guru, dan apapun yang berbau duniawi tak lagi mengusik. Inilah taqwa, milik orang-orang muttaqin. Guru muttaqin, hidupnya selamat dan menyelamatkan.
Yang belajar jadi mukmin banyak, namun yang berhasil jadi muttaqin sedikit. Sebab orang taqwa telah melewati jihadun nafsi, jihad akbar. Berapa banyak orang yang mampu kendalikan nafsu. Orang taqwa sudah pasti tawadhu. Arti tawadhu adalah meninggalkan hal apapun juga yang tak ada kaitannya untuk mengabdi pada Allah SWT. Saya rindu hadirnya guru muttaqin.
Orang takwa bisa jadi kaya raya. Tetapi ruahan kekayaan itu sungguh-sungguh untuk mengabdi pada Allah SWT. Jika guru taqwa berlimpah ilmu dan harta, dia pasti sedekahkan ilmu dan harta di jalan Allah. Bukan untuk memuaskan nafsu konsumerismenya. Sebab dia tahu: ‘halalnya dihisab haramnya disiksa'. Kalau pun dia mesti hidup sengsara, itulah jalan terbaik untuk semakin dekat dengan Allah SWT. Kesadaran yang lahir dari jiwa yang bersih, tulus, dan suci. Hari gini masih ada guru muttaqin, mimpi kali ye. Olok-olok yang menyakiti hati jika mengingat fakta meruyaknya moralitas bejat dan perilaku menyimpang di masyarakat saat ini. Dimanakah para guru muttaqin?
Ketiga, Move to Miracle. Artinya semua di atas merupakan perkara hijrah. Dari muslim ke mukmin dan dari mukmin ke muttaqin. Maka Move to Miracle, artinya berhijrahlah untuk mendapatkan keajaiban. Ajaibnya bukan terletak pada harta, jabatan dan kedudukan. Tetapi kebahagiaan dan keselamatan terletak pada terkendalinya hawa nafsu. Siapa yang bisa kendalikan nafsu, dia memang takut pada Allah SWT. Maka guru yang takut pada Allah SWT, dia akan mendapat keajaiban.
Mengendalikan hawa nafsu, ujian terhebat bagi siapa saja, pun bagi guru. Kaya dan pintar itu perlu belajar, begitu pun untuk jadi guru bijak. Apalagi jadi guru yang muttaqin, setiap detiknya adalah perjuangan. Jika pun rasa 'sengsara' mesti dicicipi untuk semakin mendekat pada sang Khalik, Allah SWT, itulah makna hakiki sengsara membawa nikmat.
Wahai guru, akankah kehidupan ini jadi episode transformasi 'M to M'? Ataukah waktu yang berlalu hanya membuat kita semakin menua saja tanpa mampu mengilhami makna kehidupan? Mari berhijrah.