REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Seto Mulyadi prihatin atas terjadinya kasus tawuran siswa SD yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Menurut dia hal tersebut bisa terjadi lantaran para pelajar tersebut mencontoh perilaku orang dewasa.
"Anak-anak adalah peniru terbaik di dunia. Mereka meniru orang-orang dewasa. Mulai dari merokok, tindak kekerasan, pemerkosaan, semua turun ke tingkat awal yakni anak SD," ujarnya, Jumat (25/11).
Hal tersebut tak lepas dari kurang atau abainya orang dewasa, baik keluarga dan sekolah terhadap ungkapan dan saluran agresifitas anak ke hal-hal positif. Orang tua dan sekolah harus menghargai kecerdasan berbeda-beda yang ada pada tiap anak dan jangan hanya menuntut kecerdasan dari sisi akademis. Kecerdasan anak berbagai macam bentuknya, ada yang lebih cenderung ke kesenian, sains, bahasa, dan lainnya.
Sikap yang kurang menghargai kecerdasan inilah yang seringkali membuat anak tertekan dan trauma yang akhirnya membuat anak melakukan hal negatif. LPA sendiri sedang menggiatkan pelatihan terhadap orang tua dan guru akan pentingnya mendidik dengan kekuatan cinta. "Hargai potensi anak yang berbeda-beda sehingga mereka percaya diri," kata Seto.
Mendidik anak dengan kekerasan, kata dia, tidak akan berdampak positif bagi anak. Justru sebaliknya hanya akan membuat anak meniru perilaku tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah siswa SD di Pakunden, Kota Semarang, terlibat tawuran dengan menggunakan senjata tajam pada Kamis (24/11) sekitar pukul 13.00 WIB. Tawuran terjadi di Jalan MH Thamrin. Beberapa siswa di antaranya ada yang membawa roda gigi (gear), pedang, dan keris.