Kamis 26 Jul 2012 13:04 WIB

Wirausaha dan Pengembangan Kepribadian (opini)

dr Syahrial Yusuf
Foto: lp3i
dr Syahrial Yusuf

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Dr Syahrial Yusuf

Siapapun pasti ingin sukses, tak ada yang ingin gagal, kesuksesan berhimpitan langsung dengan kebahagiaan. Sebaliknya kegagalan sangan akrab dengan kesedihan dan kekecewaan.

Dari sisi lahirlah beragam konsep sukse. Ada yang mencoba mendekatkannya dengan kekayaan, jabatan dan ketenaran. Orang yang di katakana sukses manakala hidupnya berlimpah harta, menjadi orang ternama dan menduduki jabatan tinggi.

Inikah definisi sukses? Ternyata tidak selalu tepat. Apalagi jika kesuksesan disandingkan dengan kebahagiaan. Ternyata tidak selalu orang kaya yang terkenal dengan menduduki jabatan tinggi, hidupnya senang. Banyak orang yang sering gelisah, sedih atau tidak merasa bahagia justru karena harta, popularitas dan kedudukan yang dimilikinya. Sebaliknya tidak sedikit juga yang hidup sederhana tapi bahagia.

Menjadi kekayaan, popularitas dan kedudukan sebagai salah satu indikasi kesuksesan tidak selalu salah, namun ketiga komponen itu saja tidak cukup. Definisi sukses tidak bisa di jabarkan hanya dengan tiga hal itu sebagai satu satunya indkator kesuksesan, bisa berakibat fatal.

Kekayaan dan ketenaran dan kedudukan adalah suatu yang langka. Tidak semua orang bisa menikmatinya, karenanya orang perlu bersaing untuk mendapatkannnya. Mereka yang menganggap kesuksesan ditandai dengan tiga hal itu, akan berusaha mendapatkannya degan segala cara. Dia tidak peduli caranya halal atau tidak. Inilah yang menyebabkan orang melakukan apa saja.

Jabatan, kekayaan dan ketenaran itu langka, maka mental orang yang mengejarnya akan menjadi egois dan sombong. Ia hanya akan mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan orang lain. Ia akan mengabaikan tuntutan lain yang tidak mendukung upayanya mewujudkan harta, ketenaran dan jabatan.

Karenanya tidak akan heran, kalau orang yang terlalu sibuk mencari harta, mengabaikan keluarganya.

Orang yang tamak ingin mendapatkkan jabatan, menjadi tega menyikut temannya sendiri. Orangyang ingin tenar, rela menyerahkan kehormatan dan jati dirinya. Padahala keluarga, teman dan kehormatanna sangat bermakna dalam kehidupan, tetapi semua di korbankan demi mendapatkan kekayaan, jabatan dan ketenaran.

Mereka yang menganggap jabatan, ketenaran dan kekayaan sebagai puncak dan lambang kesuksesan akan sulit menikmati hidupnya. Sebab ia menganggap ketiganya adalah puncak kesuksesan. Sehingga ketika ketiganya sudah di dapat tidakk ada lagi yang ingin di rengkuhnya. Ibarat pelari ia sudah mencapai garis finis. Karena tidak heran kalau mereka sudah memiliki ketiganya banyak yang bingung. Bingung harus berbuat apa lagi karena kesuksesan menurutnya sudah di capai. Akhirnya untukmenikmati kesuksesan itu tidak sediki yang pergi ke kafe kafe dan menghabiskan waktunya dengan wanita penghibur.

Islam tidak melarang meraih kekayaan, ketenaran dan kedudukan. Tapi ketiganya bukan satu satunya indikasi kesuksesan. Ketiganya hanya salah satu sarana menjadi sukses. Dalam Islam kesuksesan tidak ditandai kebahagian di dunia saja tetapi juga kebahagiaan di akhirat. Inilah cita cita yang selalu dilantunkan dalam doa, “Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Al Baqarah:201). Orang dikatakan sukses kalau dia sudah mengoptimalkan dirinya, baik secara mental atau ilmu untuk kebaikan orang lain serta dapat berkarya dengan tujuan akhir untuk ibadah kepada Allah SWT. Kesuksesan tidak hanya dilihat dari sisi financial saja sebagai tujuan akhir dalam hidupnya. Kalau kekayaan Tuhan berikan dalam kehidupan kita, semuanya adalah amanah dari tuhan yang akan diminta nanti pertanggung jawabannya.

Orang sukses adalah orang kaya yang sanggup menerima kekayaannya dengan bersikap tidak sombong agar bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan kesanggupan menerima kekayaan itu. Membuat orang tidak akan lalai dengan kekayaannya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negeri dengan kekayaan yang luar biasa ini mengapa penduduknya sengsara? Banyak faktor yang melatarinya, diantara yang dominan adalah lemahnya pendidika da tingginya angka korupsi di Indonesia.

Konsep pendidikan di Indonesia tidak mempuni, konsep pendidikan di Indonesia lebih dominan menciptakan mental pegawai, bukan pengusaha, sehingga di Indonesia tidak mempunyai banyak pengusaha.

Dari 230 juta penduduk Indonesia, hanya 400.000 orang yang jadi pengusaha. Berarti hanya 0,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Mestinya Indonesia memiliki lebih dari 9 juta pengusaha, sangat berbeda dengan singapura yang hampir 4 persen dari jumlah penduduknya yang jadi pengusaha.

Amerika 6 persen penduduknya menjadi pengusaha. Sehingga sangat wajar bagi Negara kita banyak tertinggal di Negara Negara lain. Sebab idelana dari jumlah penduduk suatu Negara, para pengusahanya berkisar antara 4 sampai 7 persen.

Fakta ini bisa berawal dari sistem pendidikan kita yang salah. Misalnya ujian nasional seharusnya bukan standar kelulusan di sebuah sekolah, bagaimana mungkin kecerdasan seseorang hanya di tentukan oleh 3 atau 4 jam mata pelajaran.

Sistem pendidikan yang kurang baik akan menciptakan lulusan yang bermental instant, tidak sedikit lulusan sarjana yang baru kerja setahun  sudah ingin membeli mobil yang mahal. Padahal jika dihitung dari gajinya yang di dapat sangat mustahil akan mendapatkan mobil yang mahal. Yang bisa di lakukan yaitu mencari penghasilan yang tidak jelas sumbernya.

Generasi muda yang bermental instant ini yang menjadi peluang terjadinya korupsi pada generasi muda kita. Mereka tidak di didik sabar dalam bekerja dan berusaha. Padahal pencarian harta tidak bisa instant, sebab setiap usaha harus bertahap tidak bisa langsung berhasil.

Tanpa bermaksud menyepelekan profesi pegawai negri sipil, mengutip apa yang di tulis oleh Valentino Dinsi, ada lima kemungkinan yang dilakukan PNS yang gajinya pas pasan atau karyawannya yang honornya menengah kebawah lalu ia kaya. Jika dengan gaji pas pas itu dia kaya maka ia melakukan satu dari lima hal berikut, mendapatkan warisan menikah dengan orang kaya, menang undia, punya bisnis sampingan atau korupsi.

Ini juga merupakan buah dari anggapan mayoritas orang bahwa kebahagiaan itu dengan persepsi harta yang melimpah. Orang dianggap sukses dan bahagia kalau punya rumah mewah, mobil banyak dan kekayaan berllimpah. Padahal yang terpenting adalah basic pelaksanaan nilai spiritual,”Ketika diberi amanah harta yang berlmpah, jika basic agamanya bagus maka, seseorang bisa memaksimalkan hartanya untuk di jalan Allah. (adv)

LP3I

sumber : LP3I
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement