Senin 14 Dec 2015 07:39 WIB

Ilusi tak Terbatas yang Berbatas

Ibnu Sina Chandranegara, SH. MH
Ibnu Sina Chandranegara, SH. MH

REPUBLIKA.CO.ID,  Pemahaman mengenai konsepsi negara tidak pernah terhenti pupus dalam wacana waktu dan peradaban. Justru perkembangan waktu dan peradaban memposisikan negara sebagai sesuatu yang "fashionable" dibandingkan dengan posisi hukum yang masih saja dianggap bercorak "old fashionable". Negara yang dahulu dianggap sebagai organ yang suci, lambat laun di era kekinian dianggap sebagai sesuatu yang populis dan dengan mudah "menghujat" negara atas dasar yang tidak berasal dari negara itu sendiri. Atas hal tersebut, maka timbul pertanyaan klasik, apakah sesungguhnya negara?, mengapa masyarakat membutuhkan negara?, dan mengapa harus negara?.Why does society need a state?Ketiga pertanyaan tersebut muncul dan menyeruak hingga berujung kepada pertanyaan inti sebagaimana teruntai diatas.

Begitu banyak konsepsi dijabarkan oleh para teoritikus dan ahli filsafat mengenai negara memandang hal tersebut. Aristoteles beserta gurunya socrates, dan plato, Cicero, Polybius, Jean Bodin, hingga Herman Finner menjelaskan konsepsi ilmiah nan kompleks mengenai negara dan berusaha menjawab why does society need a state?.Namun, perkembangan waktu dan peradaban kerapkali memunculkan ketidakpuasan dalam memahami hal yang demikian itu. Untuk menjawab kegelisahan yang demikian itu, kontemplasi penulis atas memahami perkembangan waktu dan peradaban memberikan pandangan alternatif atas konsepsi dalam hal memahami negara.

Pada mulanya manusia sebagai subjek hukum hidup dan menilai dirinya sebagai individu, mengukur dirinya atas dirinya dan menakar lingkungan dan semesta dengan dirinya. Manusia sebagai individu, tidak melihat komunitas dan golongan sebagai dirinya, tapi melihat komunitas atau golongan sebagai bagian dari "universe" dan lingkungan yang memang sejatinya perlu ada. Sejalannya dengan waktu, manusia yang memiliki akal dan rasa perlahan memahami bahwa komunitas dan golongan yang ada di sekitarnya adalah bagian yang tidak terpisahkan. Sulit diterima, tapi itulah kenyataan. Kenyataan itulah yang kemudian disimpulkan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politicon. Human are Society Creatures, Manusia sebagai mahluk sosial.

Hal ini disadari dikarenakan manusia sebagai individu mulai memahami bahwa keterbutuhan atas individu dan sekelompok individu lainnya diperlukan. Akan tetapi kebutuhan tersebut tidak dapat dipahami sebagai ketidak harusan, akan tetapi sebagai suatu keharusan. Karena hal itulah ternyata manusia memerlukan adanya kontak sosial atas segala keterbutuhannya. Semakin lama, dan perkembangan waktu, manusia semakin menyadari bahwa kebahagian dan pencapaian kesejahteraannya itu akan mudah dan dipenuhi dengan mudah melalui komunitas dan golongan sosial tersebut. Hal yang demikian itu kelak akan berbentuk menjadi bangsa. Yakni komunitas sosial yang didasari adanya persamaan fisik dan/atau ras tertentu.Lalu dimana negara?. Hingga saat ini secara nyata memang negara belum tampak dan tampil dengan segala kosmetiknya. Namun, pada saat sistem sosial dan terbentuk maka kelak muncul apa yang diharapkan negara itu tampil.

Setelah manusia memahami dirinya sebagai mahluk sosial dan membutuhkan sistem sosial, maka manusia dan sistem sosialnya mulai menyadari hal besar lainnya yang terekam dalam benak masing-masing yang tidak disadari. Penulis menyebutnya sebagaiunwillingness purpose. Memang, hal ini terkesan absurd, akan tetapi memang itu kenyataannya. Sejak saat itu, manusia memahami bahwa ada tujuan yang tidak disadari namun dikehendaki untuk dapat dicapai. Tujuan ini adalah semisal rasa aman, rasa aman, kesejahteraan, kebahagian, keadilan dan ketertiban. Hal tersebut adalah sebagian dari tujuan dan pencapaian sistem sosial yang terkadang tidak disadari secara sadar.Atas hal tersebut, manusia bersama sistem sosialnya mulai berfikir bagaimana cara memenuhi hal tersebut. Pemenuhan hal tersebut dibutuhkan, akan tetapi manusia tidak membutuhkan manusia untuk memenuhinya. Ya, benar!, Manusia tidak membutuhkan manusia untuk memenuhinya. Manusia memerlukan hal lain akan tetapi yang diperuntukan untuk memenuhi hal tersebut tetapi bukan manusia dikarenakan beberapa hal. Rasa ketidak percayaan manusia atas manusia adalah salah satu alasan terbesar selain alasan lainnya.

Oleh sebab itu manusia membutuhkan ilusi besar mengenai negara (state). Dibentuknya sebuah organ yang ilutif yang dimaksudkan untuk itu adalah solusinya. Negara dianggap sebagai solusi dan "dipercaya" untuk mengemban tujuan-tujuan besar tersebut. Negara sejatinya memang dipandang sebagai powerfull illusion, ilusi dengan kekuatan yang luar biasa yang (juga) digerakan oleh manusia sendiri, namun manusia itu bukanlah negara. Negara hadir dengan simbol-simbolnya dan menjadi fenomena yang nyata bagi beberapa aspek sistem sosial lainnya. Posisi negara yang pada awalnya organ yang bersifat ilutif dalam pencapaian tujuan dalam kehidupan sosial menjadi terus berkembang hingga memiliki kosmetik dalam negara itu sendiri. Perangkat organisasi yang kompleks diciptakan guna adanya ilusi lainnya yang beranggapan bahwa untuk dan agar tampil "cantik" maka negara memerlukan beberapa organ lainnya guna mencegah negara tidak dapat dipercaya. Sulit dipercaya? Ya namun memang kenyataan demikian.

Negara yang tadinya memiliki nilai substansial, menjadi badan yang formal dan memerlukan kosmetik-kosmetik tertentu untuk menjaga "kecantikannya".Akan tetapi, muncul kendala terbesar yang sesungguhnya disadari tapi tidak mau disadari sedari awal yakni, negara adalah ilusi tak terbatas atas ilusi yang terbatas. Lalu pertanyaannya apakah yang terbatas itu?.Apabila dibaca dibagian atas, bahwa terdapat dua tujuan yang hendak dicapai dalam diciptakannya negara, yakni adalah adanya keadilan dan ketertiban.

Hingga saat inilah, negara menemukan kendala dan benturan terbesarnya. Mengapa? Karena negara dan manusia menyadari pencapaian keadilan dan ketertiban sulit dicapai apabila dipahami melalui organisasi kekuasaan semata (baca: negara). Adalah hal yang dianggap lucu ketika negara diharapkan mencapai hal demikian itu. Oleh karena itu, negara menciptakan ilusinya sendiri dalam ilusinya bahwa perlu menciptakan ilusi lainnya untuk memenuhi ilusi atas keadilan dan ketertiban. Alasannya semudah dengan alasan terciptanya negara sebelumnya, yakni bahwa negara dan bahkan manusia tidak percaya apabila negara dapat mencapai keadilan dan ketertiban sendiria. Oleh karena itu, diciptakan ilusi tingkat tertinggi lainnya yakni hukum.

Pada titik tersebut, nampak bahwa hukum seolah-olah berposisi sebagai sole illusions yang kemudian dianggap sebagai sarana keadilan yang dianggap memenuhi hajat kesadaran. Akan tetapi, dalam perkembangan kekinian hukum dan negara menghadapi pola tatanan dimana hukum dan negara akan difilterisasi dan polarisasi atas perkembangan yang memang mengharuskan itu, yakni globalisasi.

Memahami dinamika globalisasi dengan segala dimensinya, maka globalisasi juga akan memberi pengaruh terhadap hukum. Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara- negara maju (convergency). tetapi apapun istilah yang dilekatkan pada globalisasi hukum itu, pada intinya hendak menegaskan bahwa disamping hukum nasional suatu negara bangsa berkembang suatu hukum-hukum yang melampaui batas- batas kedaulatan negara bangsa.

Meskipun saat ini pembicaraan terhadap globalisasi hukum lebih cenderung dalam konteksnya dengan globalisasi dibidang lain. Globalisasi hukum kadang kala dipahami pula sebagai penyesuaian hukum-hukum nasional suatu negara bangsa sebagai dampak dari perkembangan perekonomian global misalnya. Penyesuaian hukum nasional bisa juga dilakukan atas adanya tekanan organisasi internasional atau badan-badan dunia seperti WTO, IMF, World Bank dan lain sebagainya. Meskipun pengaruh sistem hukum yang datang dari dari luar itu bukan barang baru bagi Indonesia, tetapi yang membedakannya dari suatu waktu adalah kondisi dan situasi serta atas kepentingan apa hukum-hukum nasional Indonesia menyesuaikan diri atau memerlukan penyesuaian.

Dalam perspektif perbandingan sistem hukum benar adanya bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang paling execelen di dunia. Karena memang tidak bisa diingkari, bahwa sebagian besar sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum import sejak dari zaman penjajahan sampai saat ini. Oleh karena itu, globalisasi hukum di Indonesia sudah berlansung sejak lama, akan tetapi globalisasi hukum yang terjadi masa lalu itu hanya menjadi sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam suatu negara bangsa yang berdaulat. Globalisasi hukum dalam perkembangannya justeru tumbuh dan berkembang melampau batas-batas kedaulatan negara dan kalau pun ia hidup dalam suatu negara nasional, tetapi perubahan dan penyesuaian sistem hukum itu lahir dari suatu kesepakatan internasional.

Dari sudut perkembangan globalisasi hukum yang demikian tentu bisa dipahami apabila pada abad mendatang akan berkembang apa yang disebut dengan "the era of comparative law", meskipun saat ini geraknya belum tampak terlalu kuat. Namun demikian, yang terpenting sebenarnya dalam kaitan ini memaksa kita untuk mendalami globalisasi hukum pada satu pihak dan sistem hukum global dipihak lain. Apakah kemudian sistem hukum global menjadi bagian dari globalisasi hukum atau globalisasi hukum melahirkan sistem hukum global, merupakan tema-tema yang menjadi fokus pada bagian ini. Kalau secara nasional sudah jelas bagaimana pengaruh globalisasi itu menjalar dalam kehidupan sistem hukum nasional.

Oleh karenanya, jika globalisasi hukum bergulir ke ranah publik bersaman dengan pengejewantahan globalisasi, bagi Indonesia tidak sepenuhnya benar, karena jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi impor sistem hukum ke Indonesia. Dengan demikian, pembicaraan terhadap globalisasi hukum di Indonesia beberapa waktu belakangan, tampaknya lebih merupakan suatu pembicaraan berkaitan dengan pergerakkan globalisasi di bidang lain. Dalam banyak pembicaraan dan bahasan sering diutarakan, bahwa globaliasi hukum diberbagai bidang, semisal globalisasi di bidang ekonomi, teknologi harus di ikuti dengan globalisasi hukum. Artinya globalisasi hukum berada dibelakang globalisasi bidang lain.

Jika disetujui, bahwa globalisasi ekonomi merupakan manifestasi baru dari perkembangan kapitalisme sebagai sistem ekonomi sosial, dimana transaksi dan lalu lintas ekonomi dan perdagangan tidak lagi terikat pada asal negara dari berbagai sistem hukum dan tradisi, maka globalisasi ekonomi harus diikuti globalisasi hukum. Meskipun demikian, tetap saja ada keraguan, dimana globaliasi hukum itu tetap diharapkan berlangsung pada sistem hukum yang berbeda. Artinya, model ini tidak menjelaskan apakah globalisasi hukum memiliki sistem sendiri atau sistem hukum yang berbeda menjadi kekayaan dari globalisasi hukum.

Ya!, hukum akhirnya diciptakan guna mencapai hal yang demikian itu. Hukum disini yang dimaksud bukan hukum dalam artian luas, tetapi dalam artian sempit. Ya, yang dimaksud adalah hukum positif. Hukum yang berlaku pada tempat tertentu dan waktu tertentu. Pada akhirnya negara menyadari bahwa dia memang adalah ilusi yang tak berbatas namun kenyataan ilusi yang berbatas. ***

Ibnu Sina Chandranegara, SH. MH

(Dosen HTN, Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah Jakarta)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement