REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali membuat ketegangan dalam hubungannya dengan Cina. Pada Jumat (7/9), Trump menyampaikan keinginannya untuk mengenakan tarif terhadap barang impor asal China senilai 267 miliar dolar AS. Angka ini lebih besar dibandingkan nominal yang sudah dipertimbangkan sebelumnya, 200 miliar dolar AS.
Trump menjelaskan, penerapan tarif terhadap barang impor Cina senilai 200 miliar dolar AS akan bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi nanti. "Saya benci melakukannya, tapi di balik itu, ada lagi 267 miliar dolar AS yang siap untuk diaplikasikan dalam waktu singkat jika saya mau," ujarnya, seperti dilansir Bloomberg, Ahad (9/8).
Apabila Trump benar memberlakukan tambahan tarif terhadap barang impor senilai 267 miliar dolar AS, berarti Amerika sama saja mengaplikasikannya ke seluruh komoditas dari Cina. Menurut Census Bureau, produk Cina yang diimpor ke Amerika pada 2017 mencapai Rp 505 miliar.
Ekonom AS di FS Investments Lara Rhame menjelaskan, besaran tarif tersebut sudah diperhitungkan ke pasar. Diketahui, kinerja pasar yang kuat selama beberapa bulan terakhir terus terganggu oleh berita tentang perdagangan. "Ini hanya indikasi lain bahwa kita belum keluar dari hutan (masih berada dalam bahaya)," ujarnya.
Dalam beberapa pekan terakhir, berkembang tanda-tanda bahwa Trump ingin memfokuskan amarahnya kepada Cina, yang telah berulang kali dituduhnya telah berdagang secara tidak adil.
Baca juga, Nilai Perdagangan Cina dengan Amerika Capai Rekor Tertinggi
Pada Juli, AS dan Uni Eropa mengumumkan gencatan perdagangan, berjanji tidak memaksakan tarif baru terhadap satu sama lain. Sementara itu, pemerintah telah mencapai kesepakatan awal dengan Meksiko untuk merombak Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). AS juga sudah bernegosiasi dengan Kanada untuk perjanjian tiga negara baru. Awal pekan, Trump mengisyaratkan kesepakatan dengan Korea Selatan hampir selesai.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow menjelaskan, AS ingin membangun koalisi yang bersedia untuk ‘berperang’ dengan Cina. Koalisi ini termasuk di dalamnya, Uni Eropa, Jepang dan sekutu lainnya.
"Masyarakat Cina, Anda tahu, mungkin akan menemukan diri mereka lebih terisolir apabila mereka tidak mengikuti proses global," tutur Kudlow.
Data terbaru dari Cina menunjukkan, surplus perdagangan negara dengan AS naik ke rekor 31,1 miliar dolar AS pada Agustus. Data ini diperkirakan semakin memicu keinginan Trump dalam menyatakan genderang perang ke Cina.
Kudlow menyebutkan, kemungkinan Trump akan bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping terkait perdagangan pada bulan ini di Majelis Umum PBB. Komentar Kudlow mengindikasikan, AS tengah mencari cara untuk bisa sepakat dengan Cina dalam rangka mengakhiri perang dagang kedua negara.
Tapi, belum selesai perkara, Trump justru menyampaikan nada lebih keras terhadap sekutu AS. Ia menyebutkan, Jepang akan memiliki masalah besar apabila tidak menyelesaikan kesepakatan perdagangan baru dengan AS.
AS telah menetapkan bea masuk impor Cina senilai 50 miliar dolar AS sejak Juli, memicu pembalasan langsung dari Negeri Panda tersebut. Cina mengatakan, pihaknya akan membalas tindakan tarif AS yang berarti perang dagang akan semakin dalam dan melemahkan prospek ekonomi global.