REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potret seorang pesepak bola marah dan berteriak di depan kamera mungkin pemandangan umum di lapangan hijau. Legenda sepak bola Pele sering mengingatkan sepak bola hanya sebuah permainan. Tidak ada gunanya menjadi atlet atau pria yang terlampau agresif dan emosional saat berolah raga.
Salah satu faktor penyebab munculnya agresivitas berlebihan di lapangan, menurut psikolog olah raga Dr Mitch Abrams adalah kepanikan, keputusasaan, dan bayangan kekalahan. Efek 'tidak tertib' pemain di lapangan ini tidak hanya terjadi pada atlet laki-laki, melainkan juga perempuan.
Psikoterapis Dr Ari Novick mengatakan, lebih mudah mengendalikan perilaku pendukung (suporter) di stadion ketimbang atlet. Penggemar yang melanggar bisa disanksi tidak boleh datang menonton lagi idolanya bermain di lapangan.
Novick mengatakan, faktor agresif dan emosional ini bisa juga didorong perilaku atlet sendiri, misalnya kebiasaan minum minuman keras atau mabuk usai latihan atau usai bertanding. Jika dilakukan terus menerus ini bisa memengaruhi perilaku atlet dan memicu atlet lebih mudah agresif.
Psikolog olahraga Ken Ravizza menekankan visualisasi dan isyarat visual sebagai metode untuk fokus dan tetap dingin di lapangan. Isyarat visual ini adalah anugerah bagi atlet untuk menyelamatkan dan menghindarkannya dari pelanggaran buruk di lapangan.
"Ini adalah peringatan. Ambil napas dalam-dalam supaya Anda lebih santai. Ketika Anda santai, Anda bisa berpikir cepat dan logis dalam waktu singkat," ujarnya, dilansir dari Men's Health, Rabu (12/9).
Ravizza mengatakan kliennya, atlet-atlet MLB, seperti Evan Longoria menggunakan metode ini. Saat emosinya tak terbendung di lapangan, Longoria kerap menggunakan tiang di kiri lapangan sebagai titik fokusnya. Ini berarti ketika emosinya meningkat, ia cukup mengalihkan pandangan ke tiang tersebut, kemudian si atlet akan ingat bahwa waktu terus berjalan dan semua orang ingin melanjutkan permainan.