REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Maha Abu Shousheh, perempuan pengusaha Palestina, melakukan perjalanan untuk menemukan pakaian dengan sulaman tradisional di kota kelahirannya yang hilang.
Maha Abu Shousheh, perempuan yang berusia 56 tahun kini tinggal di Kota Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan. Ia dilahirkan di keluarga yang menyaksikan pengusiran paksa hampir dua-pertiga warga Palestina pada 1948, termasuk keluarganya.
Kenangan mengenai orang tuanya memicu perjalanannya untuk mencari pakaian dengan sulaman tradisional di kota kelahirannya, Abu Shousheh, di dekat Kota Ramallah dalam usia 17 tahun. Namun, desa itu sudah tidak ada lagi.
Perjalanannya selama hampir 40 tahun telah membuat dia mempelajari banyak kisah perempuan Palestina yang berada di belakang pakaian tradisional buatan tangan dari berbagai daerah dan melewati bermacam waktu. Pakaian tradisional Palestina adalah kostum nasional yang dihiasai sulaman dengan menggunakan bahan berbeda. Pakaian itu dijahit dengan tangan dan diberi warna benang sutra.
Berdasarkan laporan Xinhua, sulaman tradisional di Palestina memerlukan tenunan tangan dengan menggunakan jalinan benang sutra tipis, yang memerlukan ketepatan dan kesabaran besar. Perempuan yang menyulam pakaian mereka sendiri dan pakaian kaum pria untuk bermacam kesempatan.
Maha Abu Shousheh mengungkapkan ia memerlukan waktu bertahun-tahun dan pernah gagal untuk menemukan pakaian tradisional tersebut. Hingga akhirnya, untuk pertama kali menemukan apa yang ia percaya sebagai kesamaan sangat dekat dengan pakaian perempuan tradisional tempat kelahirannya.
"Buat orang yang tak berpengalaman, satu pakaian yang dihiasi sulaman yang indah, warna yang bagus dan banyak bunga akan menarik perhatiannya," kata wanita tersebut.
"Itu adalah pakaian Badui yang cantik yang saya pandang dengan penuh rasa sayang, yang saya percaya pakaian tersebut bernilai untuk dipamerkan di museum. Tapi ketika saya sampai di rumah, mereka memberitahu saya itu adalah pakaian yang dikenakan perempuan Badui dan bukan perempuan tempat kelahiran saya," kata Maha Abu Shousheh.
Perjalanannya berat, kata Maha Abu Shousheh. Hal itu sebab setelah Bencana (Nakba) 1948 buat orang Palestina, kebanyakan harga rakyat hilang, norma berubah, dan cara sulaman tradisional juga berubah.
Menurut para peneliti di Museum Etnografik Universitas Birzeit, pakaian tradisional pra-1948 dipenuhi perincian yang mewakili wilayah gegorafis yang berbeda, kelas sosial dan kondisi sosial di Paletina. Hal itu diidentifikasi oleh bermacam jenis sulaman, kain, pola, dan warna yang digunakan.
Bencana itu, atau "Nakba", bagi rakyat Palestina diperingati pada 15 Mei setiap tahun dalam kenangan mengenai pengusiran paksa dua-pertiga rakyat Palestina. Peristiwa itu juga pembersihan etnik atas sedikitnya 418 desa.
"Sebelumnya, pakaian tersebut sangat berbeda. Mungkin orang bisa mengetahui dari daerah mana masing-masing pakaian berasal," kata Maha Abu Shousheh.
"Namun, setelah Nakba, karena berbagai alasan yang kami ketahui dan terutama, hilangnya keamanan, rumah dan tanah, kaum perempuan harus mengalihkan perhatian mereka ke hal lain yang lebih penting dibandingkan dengan menghabiskan waktu, upaya, dan uang mereka untuk membeli benang sutra dan menyulam," katanya.
Dalam era pasca-Nakba, Maha Abu Shousheh menjelaskan kaum perempuan menyulam lebih sedikit pakaian dan memusatkan perhatian mereka pada masalah dari hari ke hari. Kondisi itu membuat pakaian tradisional dari bermacam daerah menjadi tidak terlalu khusus, seperti yang dipandang oleh ahli sosiologi sebagai salah satu dampak perang pada kenangan kolektif.
Untuk melestarikan kenangan kolektif tersebut dan kisah kaum perempuan, Maha Abu Shousheh memperluas penelitiannya untuk menemukan dan memperkenalkan kembali pakaian kuno dari berbagai daerah dan tempat. Bukan cuma untuk pakaian perayaan, tapi juga pakaian sehari-hari. Selain itu, pakaian yang menceritakan kaum perempuan yang menyaksikan perubahan politik wilayah itu.
Banyak negara dan wilayah di dunia memiliki jenis sulaman sendiri dan Palestina tak terkecuali. Sulaman tradisional mengungkap masa sejarah penting Palestina dan menjadi saksi bagi kisah per orangan yang merangkai gambaran lebih besar mengenai kisah kolektif Palestina.